Hari ini, aku merasa seperti tidak mood untuk melakukan apa pun. Pandanganku kosong, hatiku terus berkecamuk sejak subuh tadi. Aku benar-benar merasa hampa. Tidak bergairah.
Saat ini, aku dan Alfa sedang diantarkan oleh kedua orangtuaku dan Kyara untuk balik ke pesantren. Sejumlah keresahan terus menumpu di pikiran dan hatiku. Terlebih ketika aku bertemu Arumi nanti, aku benar-benar bingung harus bersikap bagaimana.
“Kak...,” panggil Alfa padaku. Aku mendengarnya, tapi bawaan dalam diriku enggan untuk menanggapi. Aku terus saja menatap ke luar jendela.
“Kak....”
“Hei, Kak,” panggil Alfa lebih keras. Alhasil aku menoleh ke arahnya. Mama dan Kyara ikut mengalihkan pandangannya ke arahku, sedangkan Papa memerhatikan dari kaca mobil.
“Kenapa sih, Kak? Aku perhatiin dari tadi subuh, pas salat, kok kayak orang enggak semangat gitu?”
“Mau balik ke pesantren ya makanya enggak enak ngapa-ngapain?” tambah Mama menebak-nebak.
“Udah cukup dong waktu seminggu buat liburannya. Nanti Kakak juga bakal pulang lebih cepat kan dari biasanya? Jangan merengut gitu,” ujar Papa menenangkan.
Aku mendadak tidak enak kepada keluargaku. Bisa-bisanya aku membiarkan mereka mencemaskanku seperti ini, yang padahal tidak ada kaitannya sama sekali dengan mereka. Ini juga detik-detik terakhirku bersama mereka sebelum tiba dan menetap di pesantren. Masa iya aku harus bersikap seperti ini?
“Hmm, tadinya Kakak cuman sedih aja gitu. Seminggu itu enggak lama loh, Pa. Cepet banget nih buat balik ke pesantren,” alibiku agar mereka tidak memikirkan yang lain-lain.
“Insya Allah kan pulang lagi nanti. Kalau mau di rumah bisa kapan aja, tapi kalau pesantren? Tinggal enam bulan lagi Kakak punya waktu sama teman-teman,” jelas Papa kemudian.
Aku menganggukkan kepala tanda setuju dengan ucapan Papa. Dan aku merasa begitu bodoh sekarang. Sisa waktu enam bulanku, kenapa harus digunakan untuk mematahkan hati Arumi? Kenapa semudah itu aku bisa jatuh hati pada Fatah?
Kenapa Ya Allah?
Kenapa aku bisa melunak secepat ini?
Seketika aku merasa jadi orang paling jahat di dunia.
Arumi yang selalu setia mendengarkan keluh kesahku, Arumi yang paling mau menemani ke manapun aku pergi, Arumi yang selalu menjadi orang pertama dalam hal apa pun.
Aku tidak bisa membayangkan jika nantinya Arumi dengan antusias memintaku bercerita tentang Fatah. Aku benar-benar merasa jahat padanya. Aku bingung harus berkata apa nanti. Haruskah aku ungkapkan semuanya?
Mama menoleh ke arahku. “Nah, iya. Benar kata Papa. Pokoknya, sisa waktu sebelum wisuda nanti, Kakak harus bisa memberi kesan baik untuk mereka. Dengar ya, Kak? Bagaimana pun mereka semua adalah orang-orang yang dalam 24 jam selalu bareng Kakak. Enggak ada satu pun hari yang Kakak lewatkan tanpa mereka selama di sana.”