Dinginnya udara malam terasa menusuk hingga ke tulang. Angin meliuk-liuk berembus pelan dan tenang. Sesekali terdengar suara jangkrik, burung malam, dan kelelawar mengusik sepinya malam ini.
Kulirik jam tanganku sekilas, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Anggota kamarku yang berjumlah sepuluh orang sudah tertidur lelap di dalam sana. Mereka semua berusia lebih muda dariku. Ada yang berbeda satu, dua sampai lima tahun. Sebut saja aku sebagai mudabbirah, yaitu pamong atau pun pembimbing mereka.
Aku sudah biasa tidur paling akhir. Selain karena harus memastikan mereka semua terlelap, aku tidak bisa tidur dalam keadaan berisik. Apalagi setiap kembali ke pesantren setelah liburan, cerita dari setiap orang tidak ada habis-habisnya. Jangankan di kamar, di mushalla saja bisa gaduh. Itulah yang sempat terjadi hari ini.
Saat ini, aku sedang membaringkan diri di atas sebuah karpet yang sengaja kulentangkan. Posisinya agak sedikit ke depan dari pintu kamarku. Biasanya, aku sering menghabiskan waktu di sini bersama teman-temanku jika ingin begadang untuk mengerjakan tugas. Suasananya begitu nyaman, terlebih kamarku terletak di lantai paling atas, lantai tiga asrama Salamah. Selain bisa melihat sunyinya halaman bawah, kita juga bisa bebas melihat indahnya langit malam. Hal ini yang membuat konsentrasi belajar semakin bertambah.
Di langit, bintang berkelip-kelip memancarkan sinarnya. Rembulan bercahaya terang. Pandanganku tak lepas dari hamparan luas langit di atas sana. Jika sudah begini, sering kali aku teringat betapa agungnya Sang Pencipta Alam Semesta ini.
Aku teringat sebuah ayat Al-Qur’an dan sabda Rasulullah Saw.
Allah SWT berfirman, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran [3]: 191).
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, dan keduanya tidak gerhana karena kematian seseorang, atau kehidupannya (kelahirannya). Jika kalian melihat gerhana maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, bersedekahlah, dan shalatlah.” (HR Bukhari).
Setiap kali aku memandang langit, bawaan dalam diriku seperti mengisyaratkan untuk berinteraksi dengan alam semesta. Aku merasa ketika aku mampu menyatukan diri dengan alam semesta, aku semakin yakin akan kebesaran dan keagungan Allah SWT.
Dengan memandang langit, aku benar-benar merasa bersyukur atas apa yang telah Allah berikan padaku selama ini. Mensyukuri apa saja yang selalu menjadi keluhanku. Dengan memandang langit, aku merasa sangat kecil dan tidak ada apa-apanya di dunia ini.
Rabbana Maa Khalaqta Haadza Baatilan, Subhaanaka Faqinaa ‘Adzaa Bannaari.
Subhanallahi Wa Bihamdihi Subhanallahil Adzim,
Subhanallahi Wa Bihamdihi Subhanallahil Adzim,
Subhanallahi Wa Bihamdihi Subhanallahil Adzim.
Sejenak aku memejamkan mata. Aku teringat pada satu hal yang baru saja aku alami beberapa hari ini. Suatu hal di mana perasaanku sudah berlabuh pada seseorang yang tidak seharusnya.
Aku merenung lebih dalam.
Fatah, seseorang yang sudah kupastikan sebagai cinta pertamaku.
Biarpun aku sudah pernah berpacaran, aku rasa itu bukan cinta. Itu hanya lah rasa sebatas suka dan senang terhadap seseorang. Terlebih saat itu aku masih terbilang di bawah umur.