Tadi malam, aku sudah memikirkan matang-matang apa yang seharusnya aku lakukan terhadap Arumi. Setelah banyak pertimbangan, pada akhirnya aku memilih satu jalan. Aku memilih jujur, memilih Arumi tau tentang perasaanku terhadap Fatah. Dari pada aku harus diam-diam dan Arumi tau dengan sendirinya, itu akan lebih menyakitkan bukan?
Dalam situasi ini, aku merasa jujur bukanlah pilihan. Namun sebuah keharusan.
“Kamu dengar baik-baik ya, Mi,” gumamku memulai.
“Iya, Sha. Gimana gimana?”
“Pertama kali aku berkomunikasi dengan Fatah, aku melihat dia sebagai orang yang menyenangkan. Dia mudah akrab dan tidak kaku seperti yang orang-orang tau bagaimana biasanya orang seperti Fatah ini. Bahkan adikku bilang, dia humoris dan tidak jarang membuat orang-orang terhibur karenanya.”
“Oh ya? Wah, dia begitu menarik ya. Lalu?” Arumi tersenyum sekilas. Tampak dari wajahnya sangat antusias untuk mendengarkan ceritaku selanjutnya.
Aku jadi semakin resah sendiri. Aku takut membuatnya kecewa.
“Setelah tau pembawaan Fatah yang begitu asik, aku langsung to the point menyampaikan maksudku. Aku kenalin siapa kamu ke Fatah.”
Arumi menarik napasnya sejenak, kurasa ia deg-degan. Biar bagaimana pun, ini menyangkut dirinya. Aku tau Arumi pasti sedang menebak-nebak bagaimana reaksi Fatah ketika namanya sudah mulai disebut.
“Aku bilang ke dia bahwa setelah kamu berbicara dengannya tempo hari, ada banyak hal yang berubah. Kalian sering dianggap serasi antara satu sama lain oleh teman-teman. Kalian sering dicie-ciekan dan pada akhirnya membuat kamu terbawa perasaan.”
“Dan pada saat itu, Fatah diam. Dia keliatan berpikir, tapi enggak lama kok. Dia langsung bilang bahwa ia belum bisa menjawab apa pun untuk sekarang ini. Dia sendiri ingin sukses lebih dulu dan punya target menikah di umur 25 atau 26 tahun.”
“Terus dia bilang, apa kamu sanggup menunggunya selama itu? Kalau iya, dia akan mendatangi kamu pada waktunya nanti,” ucapku memberi jeda. Aku melihat Arumi seperti ingin mengutarakan sesuatu.
“Dia bilang gitu, Sha?”
“Iya, Mi.”
Arumi lagi-lagi menarik napasnya perlahan. “Sha, gini ya. Entah kenapa, rasa antusiasku selama ini seperti hanya ingin mengenalnya lebih jauh sebagai teman. Aku merasa, perasaanku untuk Fatah mulai hilang. Aku juga heran kenapa bisa begitu, padahal awalnya aku sangat heboh ingin dekat dengannya. Apa mungkin kemarin itu hanya faktor diejek sama temen-temen aja?”
Aku menatap Arumi dalam. Dan yang terpancarkan saat ini dari matanya adalah sebuah kebenaran. Arumi terlihat serius.