PART 9 : DILEMA
Aku dan Kalila berhenti tepat di persimpangan jalan rumah Fatah sesuai dengan instruksi Fatah kemarin. Dari kejauhan, aku bisa melihat Fatah yang berjalan ke arah kami. Fatah menyadari kedatangan aku dan Kalila karena kami memang melewatinya. Aku rasa Fatah juga sengaja mengatur demikian agar bisa memantau dan tidak kecolongan.
Aku menarik napas dalam. Ini adalah pertemuan pertamaku dengan Fatah.
“Ini bukunya. Coba kalian lihat-lihat dulu. Takutnya malah enggak cocok,” ucap Fatah langsung membuka percakapan begitu tiba di hadapanku dan Kalila. Ia memberikan lima buah buku paket SBMPTN yang tebalnya bukan main ke padaku.
“Oke. Sebentar, ya,” balasku seadanya. Kemudian aku menoleh ke arah Kalila dan memberinya sebagian dari buku-buku yang kini berada di genggamanku. “Coba kamu lihat juga, Kal.”
“Oke, Sha.”
“Habis ini mau langsung pulang ya, Sha, Kal?”
“Hmm, iya deh kayaknya. Ada mau ke mana lagi enggak, Kal?”
“Kayaknya enggak deh. Soalnya udah sore juga. Takutnya kalo pergi lagi malah keburu malam pulangnya,” sahut Kalila sambil sesekali menoleh ke buku.
“Nah, iya,” lanjutku. “Ini kamu mau pergi, ya? Tapi kok enggak ada motornya?”
“Iya, nih. Mau keluar sebentar sama Hanif. Dia yang bakal jemput ke sini,” jelas Fatah yang membuatku dan Kalila serempak mengangguk.
Hari ini, Fatah tampil dengan pakaian yang begitu sederhana. Ia hanya memakai celana jeans yang dipadukan dengan kaos oblong berwarna hitam. Tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dariku membuat tampilan yang sebenarnya begitu simpel tetap saja kelihatan menarik di mataku.
“Aku merasa cocok banget sama tiga buku ini. Kira-kira aku bisa bawa pulang yang mana, Fatah? Kamu perlunya yang mana?” gumam Kalila begitu selesai mengecek isi buku Fatah.
“Beneran cocok? Udah, enggak masalah. Kalian bawa aja semuanya. Insya Allah sebagian besar isi dari buku-buku itu udah aku pelajari,” jawab Fatah. Aku sudah menduganya. Bisa ditebak dari banyaknya lembaran yang kubuka tadi penuh dengan coretan-coretan kecil di samping kiri dan kanannya.
“Seriusan? tanya Kalila memastikan.
“Jadi ini beneran boleh kita pinjam semua?” tambahku seraya melirik ke arah Fatah.
“Iya, bawa aja semuanya.”
“Oke, deh. Makasih banyak, Fatah,” ujar Kalila kemudian tersenyum.
“Makasih, ya, Fatah,” kataku ikut-ikutan berterima kasih.
“Iya, sama-sama, Sha, Kal.”
“Oh, ya. Kamu tunggu di sini sebentar ya, Sha?” Kalila terlihat buru-buru menghidupkan motornya. “Aku mau ke mesjid itu sebentar, mau ke kamar mandi.”
“Eh, ikut!” balasku kalang kabut. Yang benar saja! Mana mungkin aku tinggal berdua saja di sini bersama Fatah.
“Udah, tunggu aja. Sebentar doang!” sahut Kalila dan sesegera mungkin melajukan motornya, padahal aku baru saja mau naik.
“Kal!!”
Hah, kacau. Kalila benar-benar!
“Hahaha ... bisa tiba-tiba banget gitu, ya,” tawa Fatah begitu Kalila menghilang dari pandangan kami.
“Iya, nih. Ada-ada aja. Bikin kaget tau,” balasku. Alhamdulillah, aku dan Fatah tidak benar-benar berdua saja. Ada banyak orang yang berlalu lalang di sekitar sini, ditambah adanya beberapa pedagang kaki lima di seberang jalan. Sebenarnya bukan karena aku yang bakal takut canggung, tapi aku merasa tidak enak pada Fatah yang begitu menjaga diri.
“Oh ya, Sha. Kamu bakal lanjut ke mana memangnya? Kayaknya kita sama-sama belum cerita deh soal itu.”
“Iya, bener, kita belum cerita. Ya soalnya aku sendiri aja masih bingung mau lanjut ke mana.”
“Udah ada opsinya?”