“Ketika aku merasa sakit kenapa harus orang lain yang mengobatinya bukan kamu? Kenapa harus kamu yang memberi aku luka ini?" By Kalisa Auryne Maharani.
***
Saat ini Au sedang sibuk memilih gaun yang akan dikenakannya di acara nanti malam. Karena kemarin gagal untuk berkencan dengan Arka, hari ini dirinya akan pergi makan malam dengannya.
“Aduh, gue udah cantik belum ya?” gumam Au sambil menatap dirinya di cermin. Berulang kali ia memutar tubuhnya di depan cermin demi memastikan sudah siap.
Tangannya masih memegang dua buah sepatu high heels berwarna hitam dan merah.
“Gaun gue warnanya putih kalau di paduin sama warna merah ga cocok geh keknya. Warna hitam keknya lebih serasi?” gumamnya. “Ok, warna hitam!”
Setelah sibuk memilih gaun dan sepatu kini Au bergegas untuk mandi dan segera bersiap.
Setelah berkutat di dalam kamar mandi akhirnya Au keluar dengan sudah mengenakan gaun berwarna putih yang cantik.
Sekarang, dirinya memilih untuk merias wajahnya sebisanya. Setelah, selesai berdandan kini Au memakai sepatu.
“Au harus bisa pake sepatu macam ini! Demi Arka!”
Selama ini Au jarang atau tidak pernah memakai sepatu seperti ini. Karena sangat menyusahkan dirinya dalam berjalan. Mentok dirinya memakai sepatu seperti itu ketika ada acara formal dengan keluarga besar papa atau mamanya bahkan acar kantor papanya.
Au langsung mengambil tasnya dan berjalan menuju keluar. Dengan susah payah dirinya berjalan dengan menggunakan sepatu ini.
“Ribet banget sih,” umpat Au.
“Non, Lisa mau kemana?” tanya bi Irah yang merupakan pembantunya.
“Lisa mau keluar bentar bi, ada acara!”
“Udah izin?”
“Udah, kok. Papa hari ini berangkat ke luar kota dan mama udah izinin,” jawabnya.
Bi Irah hanya mengangguk. “Kalau pulang jangan malam-malam ya non!”
“Siap, bi!”
***
Au telah berada di sebuah cafe seorang diri menunggu sang kekasih untuk datang. Au berusaha untuk menghubungi Arka, namun ponsel cowok itu mati dan sulit untuk di hubungi.
“Arka masa iya kamu lupa lagi?” gumam Au. Senyumnya masih mengembang dan tak luntur sama sekali. Meski, sudah cukup lama menunggunya
Sudah menunggu selama satu setengah jam Au di cafe ini. Tidak tau dimana Arka berada yang ada di pikiran Au sekarang adalah mengingat kejadian tempo dulu dimana dirinya hanya di beri janji palsu oleh Arka untuk merayakan hari jadi mereka.
“Apa kamu udah ga sayang sama aku lagi Arka?” gumam Au.
Tanpa di sadari cairan bening jatuh tepat membasahi wajahnya. Au merasa sedih, namun selama ini yang orang lain lihat adalah hubungannya dengan Arka seperti sebuah hubungan yang di idam-idamkan kebanyakan orang.
“Apa aku sudah bodoh selalu memaafkan kesalahan Arka selama ini? Apa benar kata mama dan papa kalau Arka itu tidak cinta sama aku?”
Kini pertanyaan yang selama ini di abaikannya mulai muncul kembali di kepalanya.
Au dengan perasaan sedih dan malu karena sudah menunggu Arka selama hampir dua jam seperti gadis gila. Akhirnya, Au memutuskan untuk kembali ke rumah dan keluar dari tempat itu.
***
Sepanjang jalan tangisnya belum juga reda. Perasaan yang masih sakit. “Apa ini yang di namakan cinta pertama?” ucap Au dengan air mata yang masih keluar dari pelupuk matanya.
Isak tangisnya kini kian menjadi lebih keras. “Apa cinta pertama selalu memberi luka kepada sang pemilik hati yang tulus?”
“Apa aku terlalu bodoh jika tetap mempertahankan hubungan yang tidak di landasi dengan sebuah tanggung jawab?”
Au tidak memperhatikan dan mendengarkan apa yang di katakan oleh orang di jalan ketika melihatnya menangis. Kalau masalah menangis pasti semua orang tidak heran tapi ini masalahnya berbeda!
“Arka adalah cinta pertamaku. Kenapa orang cepat sekali berubah? Apa aku tidak pantas untuk merasakan kebahagiaan?” Au berusaha menghapus air matanya. Riasan wajah yang sudah di tatanya dengan indah mungkin sekarang sudah berantakan tidak terlihat dengan enak.
Au berusaha untuk tetap tegar dan memilih untuk duduk di sebuah bangku yang berada di bawah lampu.
Isak tangisnya belum juga berhenti.
Namun, seketika dirinya tersadar akan lamunannya ketika ada tangan yang memberinya sapu tangan.
Au menoleh ke arah orang yang memberinya sapu tangan itu. Au bingung dan terkejut ternyata ada orang yang duduk di sebelahnya tanpa di sadarinya.
Au langsung mengambilnya tanpa malu. Toh, sekarang dirinya sudah malu karena orang-orang pasti mengiranya gadis gila!
“Makasih, sapu tangannya,” ujar Au. Kemudian tangannya mengusap air matanya. Sekali-kali Au mencuri pandang sosok cowok yang duduk di sebelahnya. Sedari tadi tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulut cowok itu! Wajahnya tidak terlihat dengan jelas karena tertutupi dengan masker dan memakai topi hitam yang di padukan dengan hoodie berwarna hitam itu.
Cowok ini apa tuli ya?- batin Au.
“Nama lo siapa?” tanya Au untuk melepas keheningan. Namun, tidak ada respon dari cowok tadi.
“Lo, ga bisa ngomong?” tanya Au dengan penasaran. Meskipun, menurutnya itu kurang sopan.
Au berkali-kali menyernyitkan keningnya. Sedari tadi dirinya mengajukan pertanyaan tapi tak kunjung mendapatkan jawaban.
“Apa jangan-jangan dia hantu?” gumam Au sambil menggidikkan bahunya merasa ngeri.
“Lo hantu apa orang asli?”
Cowok itu langsung menatap Au. Au merasa tubuhnya lemas tak mampu untuk berjalan lagi. Tenaganya sudah habis di gunakan untuk menangis sedari tadi.
“Manusia asli,” jawabnya dengan singkat. "Lo lebih mirip hantu karena pake baju putih nangis pula!"
“Alhamdulillah,” ucap Au sambil mengelus dadanya. Namun, kesadarannya muncul kembali. "Lo ngatain. Gue hantu?" Lisa tidak bisa percaya.
"Nggak juga."
Akhirnya, Au bisa duduk dengan pikiran tenang.
“Lagian dari tadi lo, gue ajak ngomong diem aja. Kirain hantu!”
“Gue lagi makan tadi, katanya ga boleh makan sambil ngomong,” perjelasnya.
Au mengangguk. Benar apa kata cowok yang duduk di sampingnya itu, dulu neneknya pernah bicara kepadanya ga boleh ngomong kalau lagi makan.
“Maaf, gatau!”
“No problem.”
Cowok itu kembali menatap Au. Au yang merasa di perhatikan merasa takut akan suasana kali ini.
“Ini udah malam, mana ketemu sama cowok yang engga gue kenal lagi!” batin Au.
Cowok itu melihat ekspresi wajah Au yang terlihat takut akan hadir dirinya mencoba untuk mencairkan suasana.
“Lo, ga malu?” sontak mata Au terbuka lebar. Apa malu? Kenapa?
Au hanya menggelengkan kepalanya.
“Malu kenapa?” tanya Au dengan heran sejak tadi dirinya tidak merasa malu sama sekali.
“Lo, dari tadi nangis!”
“Cuma nangis semua orang juga pernah nangis di jalan?” protes Au.
Cowok itu hanya mendengus kesal. “Masalahnya lo nangis sambil nenteng sepatu lo!”
Au yang baru sadar sedari tadi menenteng sepatu hak tingginya hanya tersenyum simpul. “Hehehe,” ujarnya.