Satu hal yang paling aku suka dari SMP-ku ini adalah arsitektur bangunannya yang klasik. Sekilas, terlihat seperti bangunan kuno dan mengingatkanku pada rumah almarhum Mbah Kakung di Bandung. Ada hiasan batu kalinya, ada seperti pagar kawatnya. Dan yang paling aku suka adalah halamannya yang luas.
Komplek sekolah ini terdiri dari dua bagian. Pertama, yaitu halaman luar dengan pagar pembatas berwarna hitam yang memisahkan area luar dengan jalan umum. Pagarnya hanya setinggi dada orang dewasa—setinggi tubuhku berarti karena aku sudah SMP. Sangat mudah untuk dilompati. Setidaknya, itu bisa menjadi alternatif untuk melompat masuk-keluar tanpa melalui gerbang utama. Misalnya, jika kau terlambat datang, atau malah ingin membolos. Tentu saja dengan catatan: TIDAK DILIHAT GURU.
Lepas pagar, ada halaman luas. Terdiri dari taman di sisi barat dengan jalan setapak menuju koperasi sekolah yang berada di ujungnya. Lalu, di tengahnya adalah lobi tempat menunggu dengan ubin abu-abu dan bangku batu di sekelilingnya, dengan sisi timur laut—menempel pada tembok—biasanya digunakan untuk parkir sepeda bagi para siswa yang menggunakan sepeda. Kemudian di sisi timur, sama dengan sisi barat, yaitu berupa taman dengan rumput dan beberapa tanaman bunga.
Gedung sekolahnya sendiri berada di tengah, beberapa meter dari pagar, dengan pintu masuk berupa gerbang menghadap ke selatan yang ada di tengah lobi, membatasi antara bagian luar dan dalam.
Nah, bagian kedua komplek sekolah ada di bagian sisi dalam gedung setelah masuk dari gerbang lobi. Berupa deretan kelas yang mengelilingi sebuah lapangan di tengahnya. Tipikal gedung sekolah pada umumnya, sih. Pada ujung lapangan di sisi barat dan timur masing-masing terdapat satu buah ring basket. Namun, lapangannya sendiri multifungsi—tidak hanya untuk bermain basket. Di sisi barat laut lapangan, tepat di sudutnya, ada sebuah vending machine minuman ringan yang per gelasnya dibanderol seharga 500 rupiah. Agak mahal untuk uang jajanku. Makanya aku jarang beli. Selain karena dilarang Ibu yang tidak suka aku terlalu banyak minum softdrink, sih.
Nah, itu yang membuatku suka dengan sekolahku yang baru ini. Yang aku tidak suka … mmm … jujur saja aku heran, kenapa sekolah yang katanya “unggulan” ini, kok, masih membagi siswanya ke jadwal pagi dan siang, ya? Akibatnya, siang ini lobi sekolah penuh dengan para siswa yang menunggu giliran untuk masuk. Duh! Rasanya jadi seperti antre tiket mudik lebaran ini!
Aku serius! Ini tahun 1993, gitu lho! Dan ini di Jakarta—tepatnya Jakarta Selatan. Bukan sekolah antah-berantah yang kadang menyematkan “Pagi” atau “Sore” di belakang nama resminya. Ditambah lagi, ini sekolah “unggulan”. Bayanganku, namanya sekolah “unggulan” pasti fasilitasnya lengkap, gedung bertingkat, dan semua siswa masuk pagi. Eh, iya! Aku lupa bilang, ya, kalau gedung sekolah ini cuma satu lantai? Nah, seperti inilah sekolahku. Meski … yah, sebenarnya aku juga tidak keberatan dengan jam siang. Karena, dengan begitu, aku tidak perlu terlibat keriuhan pagi hari. Dan pastinya aku tidak diburu-buru juga untuk bangun pagi.