Masih soal “unggulan” (maaf, aku tarik ucapanku sebelumnya karena tampaknya aku masih membutuhkan tanda petik ini). Ternyata urusan sekolah unggulan belum selesai. Karena, di sekolahku yang “unggulan” ini, para siswanya masih dibagi kelasnya berdasarkan nilai masuk. Angkatanku dibagi ke dalam tujuh kelas, dari kelas I-1 hingga I-7. Artinya, jika kriterianya adalah NEM, maka bisa ditebak kalau kelas I-1 adalah kelas dengan NEM tertinggi, dan I-7 merupakan kelas dengan NEM terendah. Tentu saja tidak ada label “unggulan” secara resmi. Namun, siapa pun pasti akan langsung menyematkan label tersebut ke kelas I-1.
Aku sendiri berada di kelas I-2. Bukan kelas paling unggulan, sih. Namun, ternyata masih dipandang sebagai kelas yang perlu diperhitungkan. Dalam hal akademis, lho, ya. Karena, di luar itu, rasanya teman-teman sekelasku ini kelewat kalem. Kurang ekspresif, kurang berani, cenderung minder. Entahlah. Aku sendiri merasa seperti itu juga, sih. Yang membuatku bingung, kenapa orang-orang yang setipe denganku berkumpul di kelas ini semua.
Aku akan beri satu contoh. Ketika masa penataran siswa baru kemarin, di hari terakhir, setiap kelas diminta untuk membuat persembahan. Yah, semacam pentas gitulah. Untuk ditampilkan di acara penutupan yang isinya memang untuk hura-hura.
Kelas lain menampilkan macam-macam kreasi. Ada yang mementaskan drama-dramaan. Ada juga dance—modern dance. Bahkan, ada dua kelas yang berkolaborasi untuk menyajikan pertandingan lucu-lucuan, yaitu kelas I-6 dan I-7. Lucu-lucuan, karena berupa pertandingan sepakbola-sepakbolaan dengan menggunakan bola plastik, dan yang bertanding adalah … murid perempuan! Bukan hanya itu. Bahkan, para siswinya mengenakan kopiah plus sarung yang diselempangkan di pundak segala. Sementara, murid laki-lakinya menyemangati dari pinggir lapangan sebagai cheerleaders. Kocak, dan sukses bikin seisi sekolah tertawa terbahak-bahak.
Bandingkan dengan penampilan kelasku. Sampai H-1 saja kami masih kebingungan. Sampai-sampai kakak-kakak OSIS yang menjadi pendamping kelas pun ikut bingung. Akhirnya, diputuskan kalau kami bernyanyi saja seperti pasukan paduan suara. Lagunya ambil dari nada salah satu lagu daerah, tetapi liriknya diubah. Lalu, ketika kami akan tampil, semua orang bingung, kenapa itu SATU KELAS semuanya maju? Dan jadilah kami, kelas I-2, menjadi penampil paling garing.
Lirik lagu yang sudah kami ubah itu … sumpah narsis abis. Kau dengar saja sendiri:
Satu-dua, kelas yang keren. Yang paling beken. Selalu nge-tren. Apalagi, anak ceweknya. Kamu semua bakalan suka.
Kau malu menyanyikannya? Sama! Aku juga! Dan aku tidak habis pikir siapa yang punya ide menggubah lirik seperti itu.