Audy 1993: Diary Anak SMP

Nadya Wijanarko
Chapter #3

Teman Sebangku

Banyak yang bilang kalau masa perkenalan sekolah menengah itu “seram” dengan berbagai gojlokan dari senior. Tapi, di sini aku merasa baik-baik saja, kok. Kakak-kakak pendamping dari OSIS semuanya baik. Tidak ada bentak-bentakan. Bahkan, aku merasa lebih nyaman ketika kakak-kakak senior dari OSIS masuk kelas dan memberikan sepatah-dua patah kata materi sebagai selingan sebelum jadwal penataran yang materinya diberikan guru.

Emm … aku, kok, malah merasa kurang nyaman dengan guru-gurunya, ya? Aku punya kesan kalau mereka itu galak. Tidak seperti guru-guru ketika SD yang seperti mengayomi. Entahlah. Mungkin perasaanku saja. Kalau boleh memilih, sih, aku ingin mengulang lagi masa-masa penataran kemarin. Walau aku juga bingung, sebenarnya apa, sih, yang aku pelajari dari penataran kemarin? Rasanya materi P4 sudah sejak SD aku dapatkan. Oh, ya. P4 ini adalah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, kalau kau—mungkin—tidak tahu. Kira-kira sama seperti pelajaran PMP yang sudah aku dapatkan sejak kelas 1 SD (dan aku hampir selalu mendapatkan nilai 100 di ujian karena soalnya gampang).

Namun, terlepas dari guru-gurunya, aku tetap berharap bisa mengulang masa-masa penataran. Setidaknya ada dua hal yang membuatku menginginkannya. Pertama, pelajaran-pelajarannya tidak ada yang masuk nilai rapor. Dan kedua, aku tidak perlu pusing mencari tempat duduk apalagi teman sebangku karena sudah ditentukan berdasarkan urutan nama.

Aku memang kesulitan mencari teman duduk. Malas, sih. Karena, itu artinya aku harus berbasa-basi berkenalan dengannya. Aku agak canggung berhubungan dengan orang baru. Lebih enak kalau orangnya sudah kukenal. Atau, berkenalan karena terpaksa, buatku itu lebih enak.

Nah, pada penataran kemarin, aku bahkan mendapatkan dua-duanya: dipaksa berkenalan dengan orang yang—mungkin—aku sudah kenal sebelumnya. Soalnya, teman sebangkuku ternyata satu SD denganku. Namanya Mikha. Memang, sih, kami tidak pernah sekelas. Seingatku, dia ada di kelas 5C. Aku pun lupa di mana kelasnya ketika naik ke kelas 6. Hanya saja, aku sering berpapasan dengannya. Aku yakin kalau ia pun pasti kenal muka denganku. Makanya, interaksi kami selama masa penataran lancar-lancar saja.

Siang ini, suasana kelas sudah ramai. Beberapa sudah mendapatkan tempat duduk—dan teman sebangku. Sebagian saling menatap orang yang baru masuk kelas. Mungkin mengingat-ingat siapa namanya. Apalagi ini adalah hari pertama mengenakan seragam baru—seragam S-M-P.

Selama seminggu masa penataran kemarin kami masih mengenakan seragam SD soalnya. Sebagian besar memang mengenakan seragam khas SD: atasan putih dan bawahan merah. Namun, ternyata banyak juga yang berasal dari sekolah swasta yang bawahannya bukan merah.

Seragam SD-ku sendiri putih-ungu. Ada juga murid lain yang bawahan seragamnya hijau tua, atau kotak-kotak perpaduan putih dan biru muda. Dan masih banyak lagi, sih. Mungkin sebagian murid mengenali teman-teman barunya berdasarkan seragam SD yang beraneka ragam. Namun, ketika sekarang semua mengenakan seragam putih-biru (tua) khas siswa SMP negeri, bisa jadi ingatan mereka buyar dan karenanya kembali mencoba mengingat-ingat. Mmm … sebenarnya aku, sih, yang begini.

“Heh! Lo ngapain di sini?”

Terdengar suara protes yang cukup keras dari seorang siswi. Mau tidak mau, aku menghentikan langkah dan menoleh ke arah suara. Padahal harusnya aku berburu bangku kosong. Akan tetapi, perdebatan di hari pertama sekolah pasca masa penataran tampaknya lebih menarik perhatianku.

Pada bangku kolom keempat dari pintu yang menempel tembok, di baris kedua dari belakang, tampak Adrian bergeming duduk di samping Eza. Oh, ya. Aku mengenali Eza dari urutan duduknya semasa penataran—sepertinya dia tidak pindah. Dan tentu saja aku akrab dengan rupa Adrian karena semasa penataran kemarin ia duduk paling depan. Selain … mmm … ia cukup keren, sih. Putih, mancung, tinggi juga, dan rambutnya disisir belah tengah—sedang tren di kalangan anak laki-laki. Wajahnya mengingatkanku pada sesosok pemain sinetron. Tetapi aku lupa siapa.

“Ya duduk.” Adrian menjawab cuek pertanyaan siswi tadi.

“Tapi itu, kan, bangku gue.” Siswi tersebut tampak tidak terima.

Aku kembali menatap siswi tersebut sambil mengingat-ingat. Kalau ia kemarin duduk di samping Eza, berarti itu Dina. Yah, terus terang aku bukan pengingat wajah yang baik. Kecuali kalau orang itu memiliki sesuatu yang bisa dengan mudah kuingat. Seperti Adrian, misalnya. Atau … Rivano.

Lihat selengkapnya