“AUDI!”
Seseorang memanggil dari luar kelas. Spontan aku menoleh.
“Lo jadi gabung ekskul basket?” Orang tersebut bertanya.
“Jadi, dong!”
“Kata anak-anak senior, Sabtu sore kita mulai latihan. Bisa, kan?”
“Berarti setelah pulang sekolah?”
“Iya. Kan hari Sabtu, besoknya libur. Waktunya lowong.”
“Sip, deh.”
Aku menatap ke depan, tepatnya menonton dua orang sedang mengobrol di pintu kelas membicarakan rencana latihan basket perdana hari Sabtu nanti. Kalau kau mengira aku akan mengikuti ekstra kurikuler bola basket, kau salah besar!
“Audi” yang diajak bergabung ke dalam ekskul basket itu bukan aku, melainkan Aulia Faradita. Kalau kau lupa, dia itulah sosok siswa kelas satu paling populer tahun ini—yang mengajak Dina duduk sebangku.
Aku tidak tahu berapa NEM-nya. Tapi kalau ia ditempatkan di kelas I-2, tebakanku paling tidak terlalu jauh dariku (dengan rata-rata nilai 8).
Sebelum masuk di SMP ini ia sudah terkenal sebagai salah satu atlet basket junior yang berhasil membawa sekolahnya (SD, maksudnya) menjuarai liga bola basket tingkat provinsi antar SD se-Jakarta.
Bola basket memang menjadi olahraga populer di kalangan remaja saat ini. Tepatnya, remaja perkotaan. Karena semasa bersekolah di Ciputat dulu, aku dan teman-teman tidak pernah bermain basket. Olahraga favorit kami adalah kasti. Bahkan, di sekolahku dulu di Ciputat tidak ada lapangan basket.
Lapangan basket sekolah baru aku temukan ketika pindah ke Cipete. Malah, bola basket menjadi salah satu olahraga wajib di sekolah. SD-ku di Cipete ternyata termasuk yang tim basketnya diperhitungkan. Tentu saja aku tidak termasuk ke dalam tim. Men-dribble bola saja aku kedodoran, kok.