Audy 1993: Diary Anak SMP

Nadya Wijanarko
Chapter #5

Rolling

Sudah bisa ditebak, kok. Kegiatan belajar di minggu pertama sekolah pasti belum penuh. Meski secara resmi sudah dimulai, faktanya masih banyak jam pelajaran yang kosong. Yang gurunya datang pun paling baru perkenalan.

Ada perbedaan mencolok antara sistem belajar di SD dengan SMP. Kalau di SD satu kelas dipegang satu guru untuk seluruh mata pelajaran (paling yang beda guru adalah pelajaran agama, olahraga, dan bahasa Inggris kalau di sekolahku di Cipete), di SMP setiap mata pelajaran ada guru pengampunya masing-masing. Makanya seperti yang aku bilang tadi, ada beberapa jam pelajaran yang kosong—sesuatu yang nyaris tidak pernah kualami selama belajar di SD. Tapi, aku jadi terpikir untuk “membolos sebagian”.

Maksudku begini. Kalau di SD, membolos itu artinya tidak masuk sekolah satu hari penuh karena guru pasti akan mengetahui jumlah murid yang berkurang atau bertambah di tengah-tengah—dan ini bisa jadi masalah kalau guru melapor ke orang tua. Namun, dengan sistem belajar SMP di mana satu mata pelajaran dipegang oleh guru berbeda, bisa saja, kan, murid membolos di pelajaran-pelajaran tertentu saja. Dengan catatan tidak ketahuan guru pastinya.

Meski begitu, guru yang menjadi wali kelas kami tentu saja masuk. Wali kelas I-2 namanya Bu Mayang. Beliau mengajar geografi. Mmm … geografi itu sama dengan geologi bukan, sih? Soalnya, ayahku, kan, sarjana teknik geologi. Kalau sama, mungkin aku bisa bertanya kalau nanti aku tidak paham. Tapi … mungkin tidak perlu juga, sih. Soalnya, ketika Bu Mayang memberikan sedikit pengantar, ia bilang geografi itu bagian dari pelajaran IPS—Ilmu Pengetahuan Sosial. Ayah, kan, anak IPA—Ilmu Pengetahuan Alam. Kuliahnya saja dulu di ITB. Apa iya bakalan nyambung kalau aku tanya?

Namun, bukan itu yang ingin aku sorot tentang Bu Mayang. Bukan juga tentang pelajarannya yang aku agak khawatir sedikit—aku bukan penghafal yang baik sedangkan IPS itu, kan, HAFALAN. Melainkan “kebijakannya” tentang tempat duduk di kelas.

Bu Mayang masuk di hari Selasa. Artinya, sehari setelah kami memilih sendiri teman duduk dan menentukan di mana kami duduk. Nah, Bu Mayang sepertinya TIDAK SETUJU. Jadi, ia merombak susunan tempat duduk yang sudah kami pilih.

Bukan hanya itu. Entah dapat pemikiran dari mana, Bu Mayang menganggap sumber keributan kelas adalah teman sebangku sesama jenis. Maka, pasangan duduk pun dicampur dengan lawan jenis dengan asumsi para siswa akan canggung mengobrol. Gara-gara kebijakan Bu Mayang, aku harus berpisah dengan Mikha. Teman dudukku sekarang adalah Rifki yang tadinya duduk di depanku. Sedangkan Mikha dipindah ke depan dan duduk sebangku dengan Valdo—yang tadinya sebangku dengan Rifki.

Ternyata itu belum cukup. Bu Mayang lagi-lagi berpikir kalau seluruh siswa seharusnya merasakan SEMUA tempat duduk. Jadi, semua harus merasakan di belakang, tengah, dan depan. Karena itu, peraturannya ditambah. Setiap hari, para siswa bergeser satu baris ke depan, dan yang paling depan berpindah ke belakang. Selain itu, setiap pergantian minggu, para siswa bergeser satu kolom ke kanan. Begitulah rolling tempat duduk yang harus kami jalani selama setahun ke depan. Ribet? Sudah jelas!

Tapiiii … dengan segala macam keribetan itu, ada satu lagi yang bikin tambah ribet. Ada salah satu siswi di kelas yang matanya bermasalah. Namanya Sherin. Ia berkacamata dan sepertinya minusnya begitu mengganggu. Nah, gara-gara mata minusnya itu, dia meminta kompensasi kepada Bu Mayang untuk tetap di tempat duduknya: baris kedua dari depan, kolom kedua dari pintu. Alasannya memang masuk akal. Jadi, Bu Mayang menyetujuinya.

Hanya saja, keberadaan Sherin yang tetap di tempatnya membuat susunan duduk berantakan. Karena murid yang duduk di belakang Sherin, di hari berikutnya pasti berpisah karena yang perempuan langsung lompat ke baris paling depan, dan yang laki-laki akan duduk di samping Sherin.

Ini juga artinya dalam seminggu ini, aku akan ganti teman sebangku dua kali. Senin, aku duduk sebangku dengan Mikha (karena tempat duduk masih bebas). Selasa, ganti Rifki. Hari Kamis, karena aku harus duduk di paling depan melompati Sherin, aku akan duduk sebangku dengan Valdo. Berlanjut keesokan harinya—Jumat—di bangku paling belakang. Dan urut kedepan hingga Rabu berikutnya.

Ngomong-ngomong, kenapa Sherin tidak sekalian duduk di paling depan saja, sih? Kan, katanya matanya bermasalah.

“Kalau terlalu dekat malah pandangan saya jadi buram, Bu. Makanya, saya pilih di sini.” Begitu kilah Sherin ketika ditanya Bu Mayang kenapa tidak duduk paling depan saja.

Kau percaya? Aku, sih, tidak. Menurutku, itu hanya akal-akalan Sherin supaya tidak dipindah. Bilang saja cari enaknya doang!

Lihat selengkapnya