Audy 1993: Diary Anak SMP

Nadya Wijanarko
Chapter #6

Musik

Salah satu penanda bahwa aku bukan anak-anak lagi adalah musik. Menurutku, ya. Setidaknya, inilah yang aku rasakan. Meski aku sebenarnya sudah agak lama “akrab” dengan musik, yah … kira-kira sejak aku kelas 5 SD, semenjak umurku memasuki dua digit.

Kenapa aku bilang musik? Karena, aku merasa ada anggapan bahwa “anak-anak” belum saatnya mendengarkan “musik dewasa” yang diputar diradio-radio maupun video klip di televisi. “Musik dewasa” banyak yang temanya cinta-cintaan, misalnya. Makanya dianggap belum cocok didengar oleh “anak-anak”. Padahal, aku pikir tidak semua musik dewasa bercerita tentang cinta. 

Jangan salah. Aku paham bahasa Inggris, kok. Dulu, Ayah bikin peraturan bahwa di meja makan hanya boleh mengobrol dengan bahasa Inggris. Aku sendiri di kelas 3 dan 4 SD—ketika masih bersekolah di Ciputat—juga sempat mengikuti les bahasa Inggris. Iya, di sekolah Ciputat yang katanya “kampung” itu ternyata ada les bahasa Inggris setiap hari Minggu, bahkan belajarnya menggunakan buku bahasa Inggris untuk kelas 1 SMP terbitan pemerintah yang tebal itu.

Ketika aku pindah ke Cipete, ternyata ada pelajaran bahasa Inggris juga untuk kelas 5 dan 6. Kalau yang ini pelajaran resmi dan bukan les tambahan. Sepertinya pelajaran bahasa Inggris dimasukkan ke “muatan lokal”, atau mungkin malah kekhususan sekolah. Kan, sekolahku itu swasta, bukan negeri.

Yah, intinya aku paham bahasa Inggris. Makanya, aku berani bilang kalau lagu dewasa itu tidak melulu cinta-cintaan. Kalau lagu Indonesia, sih, memang kebanyakan cinta-cintaan. Namun, lagu barat lebih beragam. Mau contoh? Sekarang lagi ngetop lagu “Any Dream Will Do”-nya Jason Donovan. Apakah itu lagu cinta? Jelas bukan! Setidaknya, mana mungkin lagu cinta melibatkan anak-anak bernyanyi paduan suara di atas panggung? Video klipnya, kan, begitu.

Contoh lain? Aku suka dengan “Put It There”-nya Paul McCartney. Itu juga bukan lagu cinta. Lagi-lagi aku menyimpulkannya setelah melihat video klipnya, yang jelas-jelas itu tentang hubungan ayah dan anak. Lainnya, “Hope of Deliverance”, juga dari Paul McCartney, juga bukan tentang cinta-cintaan. Tapi lebih ke toleransi antar umat beragama. Soalnya, di video klipnya ada tokoh biksu dan biarawati.

Oh, iya. Aku tahu Paul McCartney dari ibuku. Kata Ibu, Paul McCartney itu mantan personel The Beatles. Itu band populer zaman ibuku masih remaja katanya. Para cowok keren di masanya yang bisa bikin cewek-cewek menjerit histeris.

Jujur, aku sulit membayangkannya. Kalau bandingannya sekarang, mungkin seperti New Kids On The Block kali, ya? NKOTB–aku singkat begitu saja–adalah grup vokal beranggotakan cowok-cowok keren. Banyak disukai gadis remaja. Tahun lalu mereka sempat konser di Jakarta dan sempat jadi berita heboh di majalah-majalah remaja gara-gara ada yang melempar permen karet dan mengenai rambut keriting Joey–si personel paling muda.

Entah kenapa sampai ada insiden seperti itu. Katanya, itu karena si penonton–aku tebak CEWEK–terlalu gemas dengan Joey sehingga ia sampai melempar permen karet ke atas panggung. Walau aku juga heran, kenapa kesukaan seseorang pada idola malah dilampiaskan dengan cara seperti itu–Joey sampai bete kalau aku baca liputannya di majalah remaja waktu itu.

Eh, tapi aku bukan penyuka NKOTB, lho. Aku malah bingung kenapa banyak yang suka, sampai-sampai ada salah satu majalah remaja membuat artikel tetap khusus membahas New Kids On The Block setiap terbit. Tidak usah aku sebut nama majalahnya, ya. Tapi nama rubriknya adalah “Bursa NKOTB” dan “Tanya NKOTB–Blockheads Bertanya, Bostonians Menjawab”. Memangnya semua harus suka NKOTB, ya?

Oke, balik lagi ke musik. Dulu, ketika SD (di Cipete, maksudnya), teman-temanku banyak yang menyukai Nirvana. Lagunya yang paling aku ingat adalah “Smells Like Teen Spirit”. Pernah teman-teman sekelasku memutar lagu itu keras-keras di kelas lalu mendengarnya sambil berlompatan–headbanging sebutannya apa, ya? Tentu saja ketika tidak ada guru, ya. Aku rasa guru–yang notabene orang tua–tidak suka lagu semacam itu. Ibu tidak suka, soalnya. Pernah suatu kali video klip lagu tersebut diputar di televisi dan Ibu langsung komplein, “Lagu apaan, sih? Ibu pusing dengarnya!”

Referensi musikku sendiri banyak terpengaruh Ibu. Salah satunya, ya, The Beatles itu. Lainnya, aku biasa mendengarkan Bee Gees, The Hollies, John Denver, atau ABBA. Yang agak baru paling greatest hits-nya Phil Collins. Kuno, ya?

Kalau Ayah … mmm … aku kurang tahu selera musiknya. Paling aku pernah sesekali mendapatinya menyetel kaset Ebiet G. Ade atau Simon&Garfunkel. Ayah sepertinya tidak terlalu suka musik.

Lihat selengkapnya