Oh, ya. Aku belum bilang lagi, ya. Selain guru yang berbeda untuk tiap mata pelajaran, perbedaan lainnya adalah ternyata ada beberapa mata pelajaran yang dipecah. Salah satunya adalah IPS. Ingat, kan, kalau wali kelasku–Bu Mayang–adalah guru geografi. Nah, ternyata masih ada dua lagi mata pelajaran IPS: ekonomi dan sejarah–ini gurunya beda lagi.
Selain IPS, pelajaran IPA pun ternyata juga dipecah, menjadi biologi dan fisika. Aku sudah menduganya, sih. Sejak SD, aku sering bingung kenapa ada materi IPA tentang binatang dan tumbuhan, dan di sisi lain ada juga materi IPA tentang benda mati dan hal-hal teknis. Aku pikir kedua bidang itu sangat tidak nyambung. Dan ternyata memang berbeda.
Yang aku sulit membedakannya malah IPS. Bagiku, IPS itu materi “cerita” saja. Tentang sosial, tentang masyarakat, pokoknya tentang orang. Aku sulit membedakannya. Aku pikir agak tumpang tindih. Pantas saja pelajaran IPS baru diberikan di kelas 3 SD. Harus rajin baca koran kalau mau nyambung. Sulit, kan?
Oke. Mari bahas lagi soal IPA. Kami sudah mendapatkan mata pelajaran biologi minggu lalu–minggu pertama sekolah. Dan aku kembali ternganga karena ternyata ada lagi cabang-cabangnya. Botani, fisiologi, taksonomi … terus, apalagi, ya? Aku sendiri bingung. Yang jelas, materi pertama adalah menghafal cabang-cabang biologi. Sedangkan, untuk fisika baru minggu ini kami akan mendapatkannya.
Seisi kelas heboh karena, berdasarkan informasi yang didapat, fisika itu sulit karena perpaduan antara IPA dan matematika. Maksudnya, pelajaran IPA di SD yang mudah itu (bagiku, sih), kini dibuat sulit dengan memasukkan hitung-hitungan sejenis matematika.
“Apa nggak cukup kita dibikin pusing sama matematika? Sekarang pelajaran IPA-nya pakai hitung-hitungan kayak matematika juga? Matematika dua kali, dong?” keluh Eza.
Valdo, sebagai orang yang pertama kali menginformasikan itu di kelas kami, hanya mengangkat bahu.
“Memang begitu.” Valdo menjawab singkat.
Eh, iya. Lagi-lagi aku lupa bilang. Valdo harusnya menjadi senior kami. Alias … ia sebenarnya tidak naik kelas. Entah apa pertimbangannya ia dimasukkan ke kelas I-2 yang termasuk lumayan “unggulan”. Agar ia bisa ketularan “unggulan”?
Sebelumnya, Valdo sempat muncul di hari pertama penataran siswa baru. Waktu itu, aku sempat heran melihatnya sudah mengenakan seragam SMP. Namun, ia hanya datang di hari pertama. Selanjutnya, ia tidak datang lagi. Baru setelah sekolah resmi dimulai (untuk siswa kelas 1, maksudnya), ia kembali muncul.
“Ulangannya susah, nggak?” Adrian tampak khawatir.
“Ya….” Valdo tampak berpikir, “lo bayangin aja, kalo materi IPA dicampur itung-itungan kira-kira gimana?”
Aku memperhatikan Valdo sekilas, lalu menunduk lagi. Aku tidak terlalu tertarik dengan informasi dari Valdo. Alih-alih, aku lebih memikirkan kasetku yang ternyata SALAH BELI.
Semua gara-gara pria dewasa yang menyerobot antrean alat pemutar musik. Harusnya, lagunya aku cek dulu. Karena, yang aku cari ternyata judulnya bukan “Queen of Rain”.
Hari ini–Selasa–adalah hari ketika Bu Mayang kembali mengajar di kelas. Jadi, kesepakatannya adalah setiap siswa kembali duduk sebagaimana urutan yang ditetapkan Bu Mayang. Dan berdasarkan urutan itu, aku harus duduk sebangku dengan Valdo (gara-gara rolling tertahan di Sherin). Karena sudah berganti pekan, tempat duduk digeser satu kolom ke kanan yang artinya kini tempat dudukku adalah di baris ketiga pada kolom pertama yang sejajar di pintu, menempel dinding.
“Eh, fisika jam pelajaran ke berapa, sih?” Mikha yang duduk di depanku tiba-tiba membalik badan.
Aku yang tengah mengutak-atik pun menengadah, lalu mematikannya dengan menekan tombol STOP.
“Setelah geografi, bukan?” Aku hanya ingat kalau geografi adalah pelajaran pertama. Makanya anak-anak sibuk berpindah tempat duduk. Daripada kena semprot Bu Mayang, kan? Tidak mengapa. Toh, setelah ini bebas, kok.
“Denger-denger yang ngajar fisika di kelas kita itu Pak Chris.” Valdo tahu-tahu duduk di sampingku.
Aku kali ini menoleh. Mikha tampaknya juga tertarik.
“Orangnya gimana?” tanya Mikha.
“Yah…” Valdo malah mengedikkan bahu, lalu tersenyum misterius.