Audy 1993: Diary Anak SMP

Nadya Wijanarko
Chapter #10

Acara TV

Aku akhirnya paham kenapa fisika menjadi salah satu pelajaran paling ditakuti para siswa. Salah satunya karena sulit. Salah lainnya … sepertinya karena gurunya juga, sih….

“Saya memberikan PR itu supaya kalian belajar.” Pak Chris kembali berkata tegas. Sorot matanya menatap tajam seisi kelas yang sebagian besar menunduk. 

Aku, sih, tidak. Bukan … aku bukannya kurang ajar atau melawan. Lebih ke cuek, sebenarnya. Aku, kan, tidak salah.

“Susahnya di mana, sih, PR yang saya berikan itu?” Pak Chris kembali bertanya.

Seisi kelas lagi-lagi hening.

“Ayo. Jawab saja. Tidak apa-apa.” Suara Pak Chris agak melunak.

“Soalnya kebanyakan, Pak.” Terdengar suara Rifki.

Pak Chris menoleh ke arah Rifki. Pandangannya kembali menyapu seisi kelas. Kemudian berhenti di Valdo.

“Kamu.” Pak Chris menunjuk Valdo.

Valdo tampak tersentak.

“Apa kamu dulu juga merasa kalau PR yang saya berikan itu kebanyakan?” tembak Pak Chris.

Valdo tidak menjawab. Alih-alih malah kepalanya pelan-pelan menunduk.

“Saya sudah kasih waktu seminggu, loh.” Pak Chris kembali berkata. “Harusnya kalian bisa selesai mengerjakannya.”

“Tapi pelajaran lain juga ada tugas, Pak.” Salah seorang murid kembali bersuara–entah siapa. Tapi aku merasa suasana sudah tidak setegang tadi.

“Terus … pelajaran saya nggak penting, gitu?” Pak Chris balik bertanya.

Sudahlah. Tidak perlu terus-menerus menjawab guru. Mau bagaimana pun juga, guru itu lebih pintar dan berpengalaman. Mau jawab apa pun pasti didebat.

Pak Chris tampak tersenyum. Entah kenapa, aku merasa ia sedang “memainkan sesuatu”. Aku pikir … aku harus waspada dengannya.

“Siapa yang tadi PR-nya jadi bahan contekan?”

Benar dugaanku. Ia mulai “menyerang”. Aku yang tadinya merasa aman kini deg-degan.

Lihat selengkapnya