Audy 1993: Diary Anak SMP

Nadya Wijanarko
Chapter #11

Lagi-Lagi Gara-Gara PR

Perhatikan, tidak? Meski SMP cuma sampai kelas 3, guru-gurunya justru lebih banyak dari SD. Penyebabnya, pertama, karena jumlah kelasnya lebih banyak juga. Iya, sih. SMP memang cuma sampai kelas 3. Tapi, tiap angkatan terdiri dari banyak kelas. Jauh lebih banyak dari SD. 

Di sekolahku yang di Ciputat, satu angkatan hanya terdiri dari dua kelas: kelas A dan kelas B. Di sekolah Cipete, satu angkatan dibagi menjadi tiga: A, B, dan C. Di sekolah Adrian dan Aud … eh, maksudku Aulia, satu angkatan konon sampai D. 

Namun, tetap saja rekor tertinggi dipegang oleh SMP tempatku belajar saat ini: tujuh kelas. Tujuh dikalikan tiga, berarti ada 21 kelas saat ini. Jauh lebih banyak dari jumlah kelas di SD Ciputat (12 kelas) dan Cipete (18 kelas). Paling hanya di SD putih-cokelat muda saja yang lebih banyak: 24 kelas.

Tapi, jangan lupa juga. Di SD, satu kelas hanya dipegang oleh satu guru merangkap wali kelas. Sedangkan di SMP, semua mata pelajaran ada pengampunya. Mata pelajaran pun pakai dipisah segala. Ingat, kan, kalau IPA dipecah menjadi dua dan IPS menjadi tiga? Dengan begitu banyaknya mata pelajaran dengan masing-masing guru, potensi amprokan terbuka lebar. Makanya, satu mata pelajaran bisa dipegang oleh lebih dari satu guru. Dan setiap guru pun hanya memegang beberapa kelas.

Nah, itulah yang terjadi pada mata pelajaran fisika. Pak Chris ternyata hanya memegang kelas I-1, I-2, dan I-3. Aku lupa siapa yang mengajar di kelas I-4 hingga I-7. Yang aku sempat dengar, guru fisika di kelas I-4 dan I-5 berbeda dengan di kelas I-6 dan I-7. 

Tentu saja metode mengajarnya agak berbeda. Mungkin. Entah, ya. Tapi, kan, kelas I-1, I-2, dan I-3 hitungannya unggulan. Bisa jadi agak berbeda dengan kelas-kelas lainnya. Namun, kalau di kelas “bukan unggulan” tidak banyak PR dan tidak usah pakai format ajaib (kalaupun ada PR), mending aku di sana saja.

Kelas yang mendapat guru yang sama sepertinya mendapatkan “kebijakan” yang sama juga. Termasuk juga urusan PR. Ketika kelas I-2 mendapat tugas tambahan membuat review acara televisi pendidikan, ternyata kelas I-1 dan I-3 kena imbasnya juga. Setidaknya itulah yang aku tangkap ketika segerombolan anak laki-laki terlibat obrolan sengit di sisi timur lapangan basket–di sisi depan kelas I-1, I-2, dan I-3 yang menyempil di pojokan sudut.

“Gara-gara kelas lo, kelas kita jadi ikutan kena getahnya juga, deh.” Rivano dan beberapa teman sekelasnya tampak berdiri berhadapan dengan Adrian, Eza, dan beberapa anak laki-laki dari kelas I-2.

“Kenapa jadi kelas kita yang disalahin?” Adrian tidak terima.

“Ya jelas kelas lo, lah, yang bikin gara-gara.” Ihsan, salah satu murid kelas I-3, ikut mendukung Rivano.

“Emang kelas kalian nggak pernah nyontek? Nggak usah sok suci, deh.” Eza juga tidak mau disalahkan.

“Masalahnya, kelas lo, tuh, nggak canggih cara nyonteknya.” Rivano tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.

“Nyontek, mah, nyontek aja. Ketahuan atau enggak, itu nasib.” Rifki ikut membela teman-teman sekelasnya.

“Masalahnya, nasib jelek kelas lo itu nular ke kelas lainnya.” Damar–juga siswa kelas I-1–ikut menuding.

“Kalo gitu protes aja ke Pak Chris.” Valdo angkat bicara.

Lihat selengkapnya