Audy 1993: Diary Anak SMP

Nadya Wijanarko
Chapter #13

Semua Pakai Strategi

Aku memang penasaran dengan pelajaran fisika. Namun, aku tidak menyangka jika Pak Chris ternyata seperti itu. Ini, sih, sama saja dia membawa masalah buatku.

Aku tidak habis pikir urusan PR saja jadi ribet begini. Okelah. Mungkin aku memang salah ketika memberikan PR-ku sebagai bahan contekan. Tapi, ketika Ferry ingin melihat PR-ku, aku rasa harusnya Pak Chris juga tahu kalau Ferry tidak bermaksud menyontek.

Begitu juga ketika teman-temanku menyontek PR yang pertama. Apa iya mereka benar-benar ingin menyontek? Dulu, aku biasa mengerjakan PR bersama teman-temanku. Apa itu namanya menyontek? Oke. Aku memang tidak bisa membedakan niat orang–apakah mereka ingin belajar atau sekadar menyontek. Tapi … memangnya aku bisa mengendalikan orang lain?

Yah, tapi apakah aku bisa mendebat Pak Chris? Orang dewasa selalu benar, anak-anak selalu salah. Sudahlah. Anggap saja begitu.

Hari ini aku menemani Mikha di sebuah tempat. Yang pasti, sih, bukan sekolah. Dan tempat ini hanya aku yang tahu. Eh … Nicky juga, sih. Karena ini adalah tempat yang aku temukan bersama Nicky ketika dulu pada saat jam olahraga.

Kelas kami sering keluar untuk berolahraga di lapangan kompleks perumahan yang tidak jauh dari sekolah. Kemudian, aku menemukan sebuah gedung pertemuan di tengah kompleks. Tampaknya tak ada yang menyadari keberadaan gedung tersebut.

Karena aku tidak bisa bermain basket, aku jarang bergabung ketika teman-temanku mengadakan tanding di jam bebas. Tapi dampaknya, aku jadi sungkan untuk ikut serta dalam permainan apapun. Aku takut malah mengganggu tim.

Maka, ketika jam olahraga memasuki sesi bebas, aku lebih suka melipir dan berjalan-jalan sendiri keliling kompleks. Hitung-hitung, kan, joging. Olahraga juga, kan? Apalagi kompleksnya juga asri. Masih banyak pepohonan di sisi jalannya. Kemudian aku menemukan gedung ini.

Ketika pertama kali menemukannya, pintu depannya terkunci. Namun, ketika aku beranjak ke samping, tenyata ada pintu lain, terletak agak menjorok ke bawah dan terbuka sedikit. Terdorong rasa ingin tahu, aku pun masuk.

Ruangannya kosong melompong. Interior di dalamnya seperti gelanggang pertemuan atau olahraga dengan undakan-undakan di sekelilingnya yang bisa dijadikan tempat duduk. Akhirnya aku sering ke sana.

Tentu tidak dengan tangan kosong melompong, melainkan sambil menyelipkan sebuah komik untuk kubaca sendirian. Lalu, belakangan aku mengajak Nicky. Setelah itu, jadilah tempat rahasia kami. Kami biasa menunggu di situ hingga jam pelajaran olahraga usai. Jadi, kami tidak ketahuan guru.

Mikha ternyata baru tahu tempat ini padahal tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kompleks tersebut–hanya satu kali naik angkot berwarna merah yang menuju sekolah. Heran, kok, bisa-bisanya dia tidak ngeh padahal setiap hari lewat?

Alasanku mengajaknya ke sini, yah … apalagi kalau bukan untuk mengerjakan PR. Dan … apalagi kalau bukan PR fisika!

Mikha sebenarnya bukan tipikal anak yang suka menyontek. Pun ia juga selalu rajin membuat PR. Setidaknya, begitulah menurut pengakuannya padaku. Hanya saja, ada satu episode pelajaran fisika kelas 1 SMP di acara pendidikan di televisi yang ia lupa menontonnya. Walhasil, ia kelimpungan untuk membuat laporan.

Serba salah jadinya, kan? Kalau sampai ketahuan “menyontek”, yah … tahu sendiri kayak apa Pak Chris itu. Tapi, kalau sampai ketahuan tidak mengerjakan tugas … duh, aku saja tidak berani membayangkannya. Makanya, sebagai jalan tengah, aku ajak saja ia ke sini. Tentu saja kami janjian pagi hari. Eh … tidak pagi juga, sih. Jam 10 … menurutmu masih pagi, tidak?

Thanks, Dy. Asli, lo rajin banget,” ujar Mikha di sambil menulis tugasnya. Di atas kertas folio bergaris, diberi garis pinggir dua sentimeter, tidak boleh kurang ataupun lebih.

“Kata siapa gue rajin?” Aku masih serius menatap komik “Kung Fu Boy” di tanganku. Petualangan Chinmi si bocah jago kung fu terbaru jelas tidak boleh aku lewatkan.

Lihat selengkapnya