Aulia Diah Salim

M. Bagus Sulistiyanto
Chapter #1

Lilin


Tahun 1940

Tak banyak perempuan pada masa itu berani melepaskan kenyamanan, lalu memilih hidup dalam kesulitan dan ketidakpastian, tak banyak dari mereka yang berani bermimipi.

"Apa yang sebenarnya mereka cari?" bisik Diah dalam hati—tanya yang dituliskan dalam catatan hariannya.

Ia menuliskan bahwa perempuan kala itu lebih banyak membungkam diri, melayani suami, mengubur mimpi, menyiapkan keperluan anak-anak. Padahal di antara mereka, ada yang berprofesi sebagai aktivis, diplomat, pendidik, bahkan sarjana hukum. Namun segalanya seperti terhapus oleh tuntutan sosial: bangun sebelum fajar, bekerja tanpa jeda, dan berakhir tanpa pujian.

Apakah itu semua kini hanya tinggal jejak usang? Apakah semangat mereka telah dikubur bersama zaman? Padahal perempuan, sebagaimana laki-laki, berhak ‘mengadakan diri’—menyuarakan keberadaannya, bukan sekadar menjadi bayang-bayang.

Aulia Diah Salim adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Lahir dari keluarga miskin namun penuh kasih. Sang ayah hanyalah guru sekolah rakyat, sementara ibunya—seorang penari ronggeng yang hidup dalam dilema antara seni dan martabat. Ia sering kali menjadi sasaran tangan-tangan jahil para priyayi. Tawaran uang atau harga diri sering datang di tengah malam, dibungkus tawa mesum yang menghina kemanusiaan.

Keluarga mereka nyaris tak punya apa-apa. Untuk makan, mereka menggantungkan harapan pada umbi-umbian liar atau sisa hasil bajakan sawah. Sering kali, Diah dan kedua adiknya harus menahan lapar seharian. Dan seolah tak cukup, adik keduanya mengidap leukemia. Tangisnya saban malam bukan sekadar rasa sakit—tapi seruan yang tak pernah sempat ditolong.

Tiga tahun mereka bertahan dalam gelap yang tak berhenti. Hingga suatu hari, datanglah seorang teman lama sang ayah. Ia menawarkan untuk ‘mengangkat’ satu dari anak mereka—dijanjikan kehidupan yang lebih baik. Awalnya, sang ibu menolak mati-matian. Tapi kenyataan terlalu bengis untuk dilawan. Tak ada pilihan lain. Tak ada jalan lain selain mengiklaskan. Pilihannya adalah pergi atau mati.

Dan pagi itu, tanpa banyak suara, Diah dijemput dari rumah. Usianya masih terlalu muda untuk mengerti, namun cukup tua untuk mengingat wajah ibunya yang basah menahan tangis di ambang pintu—tanpa pelukan, tanpa lambaian.

17 tahun kemudian

Diah menjelma menjadi perempuan dewasa yang menawan dan cantik rupawan. Rambutnya panjang mengalir, kulitnya sawo matang khas bumi pertiwi. Ia melanjutkan studi pascasarjana di Amerika Serikat, jurusan Hubungan Internasional.

Diah dikenal cerdas, kritis, dan berprinsip. Ia membawa semangat bahwa perempuan tak hanya boleh bermimpi, tapi juga harus mengambil peran dalam sejarah. Ia menulis tentang perempuan-perempuan tangguh di berbagai belahan dunia, menyusun kisah-kisah inspiratif yang kemudian dibukukan dan dibagikan.

Impian masa kecilnya sederhana: menjelajah dunia dan menulis. Tapi siapa sangka, perjalanan itu justru membawanya kembali pada masa lalu yang belum selesai.

Lihat selengkapnya