Madison, Amerika Serikat
Pagi itu, kota Madison dibungkus salju setebal hampir lima puluh sentimeter. Trotoar, taman, hingga bangku jalanan yang biasanya ramai kini diselimuti putih yang sunyi. Musim dingin memang membuat banyak warga memilih berlindung di dalam rumah. Suhu menembus minus dua puluh derajat—badai salju sedang melanda sebagian besar wilayah Amerika.
Di sebuah apartemen di sisi barat Park Avenue, antara 71st dan 72nd Street kawasan Lenox Hill, seorang perempuan duduk di balik kaca besar yang menghadap ke jalan. Wajahnya samar terlihat dari pantulan jendela—rambutnya terkuncir sederhana, wajah khas perempuan Indonesia masih lekat meski dirinya telah menjelajahi banyak belahan dunia.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, segelas teh dan sepotong roti gandum menemani rutinitasnya. Ia duduk santai, tangan kanannya menari di atas kertas, mencatat setiap peristiwa, kenangan, dan hasil perbincangan dengan perempuan-perempuan yang ia temui dalam perjalanan hidupnya.
Salah satu catatannya terbuka di depan:
“Kita takkan pernah selesai jika membicarakan hak dan kewajiban. Akan selalu lahir pertanyaan-pertanyaan baru—bukan untuk menjawab, tapi untuk mengaduk-aduk batin kita sendiri.”
Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang. Teh yang tadi hangat kini dingin. Gandum tinggal remah. Di luar, salju masih turun perlahan, menyelimuti dunia seolah waktu sedang membeku.
Jam weker berbunyi nyaring.
TIT...TIIT…TITIT…TITI…
Suara itu memecah lamunan dan menggiringnya bangkit. Ia membuka lemari dan menarik koper tua—peninggalan ayahnya. Pakaian ia lipat rapi, disusun satu per satu. Beberapa buku penting tak lupa ia masukkan, teman setia selama perjalanan panjang.
Hari itu, Diah akan pergi ke Prancis, melanjutkan studi di bidang Kajian Mediterania. Ia dijadwalkan berpindah-pindah antara Nice, Tunis, dan Istanbul selama satu tahun. Dan semuanya terasa seperti takdir yang menuntunnya, bukan sekadar program akademik.
Tiba-tiba, ketukan di pintu menggema.
“Kamu belum siap-siap?!” seru suara ceria dari balik pintu.
Itu Yocelyn Darla, sahabat sekaligus teman sekampus Diah selama dua tahun terakhir. Gadis kulit putih berambut pirang itu masuk tanpa basa-basi, langsung melemparkan pandangan ke seisi kamar.
“Kenapa kamar ini kayak kapal pecah, hah? Aku kira kamu udah siap dari tadi!”
Diah tersenyum tipis. “Aku mandi dulu, duduk aja dulu.”
Darla sudah seperti saudara sendiri. Di tengah kampus yang kadang masih memandang rendah orang non-kulit putih, Darla menjadi satu dari sedikit orang yang melihat Diah bukan dari warna kulitnya, tapi dari pikirannya.
Pertemuan mereka terjadi saat Diah menjadi pembicara dalam diskusi kampus tentang hak perempuan. Kata-katanya yang tegas dan penuh empati membuat Darla tergerak. Sejak saat itu, mereka hampir tak terpisahkan.
Darla bukan hanya cantik. Di mata Diah, ia adalah harapan. Seseorang yang hadir seperti jendela kecil menuju dunia yang lebih adil.