Aulia Diah Salim

M. Bagus Sulistiyanto
Chapter #3

Malam kelam


Malam yang semula tenang berubah jadi gemuruh. Petir menyambar langit tanpa malu, hujan turun deras. Tanah tandus yang lama menanti kini tergenang, dan dedaunan menari dalam syukur.

Namun, tak semua tempat bisa menikmati anugerah itu.

Di pinggir desa, berdiri sebuah rumah tua yang hampir rubuh. Atapnya bocor, dinding bambu gedek melambai tertiup angin, dan tiang-tiangnya miring menahan usia. Ember, botol bekas, dan bak besar ditaruh di mana-mana, menadah air hujan yang terus menetes tanpa henti.

Angin malam menyusup ke dalam, mengiris kulit yang menggigil hebat.

Di tengah ruangan, tangisan pecah bersahutan dengan gemuruh langit. Seorang anak perempuan menangis tak henti—bukan karena takut, tapi karena lapar. Sudah lebih dari sehari perutnya tak tersentuh nasi. Kakaknya menggenggam erat tangan kecilnya, mencoba menghangatkannya dengan tubuh yang juga gemetar.

Amak… Herawati panas…” bisiknya panik.

Sang ibu menghampiri, mencoba menenangkan. Namun tangisan semakin menjadi, semua orang dalam rumah itu panik. Tak ada makanan. Tak ada daya. Dan di tengah badai itu, mereka hanya bisa berharap.

Petir kembali menyambar. Herawati terdiam.

Tubuhnya lemas. Genggamannya melemah. Wajahnya pucat seperti langit yang kehabisan warna.

Wati... bangun, ndok...” ucap sang ibu, mengguncangnya pelan.

Air hangat ia teteskan ke wajah putrinya, tangan mungil itu digosok agar tetap hangat. Tapi Herawati tetap diam. Tak menjawab. Tak menangis lagi.

Lia, cepat ke rumah Pak RT!” perintah ibu.

Iya, mak!

Tubuh mungil itu melesat menembus hujan badai. Hujan mengguyur rambut dan wajahnya, tapi ia tak peduli. Lapar dan dingin tak seberapa dibanding ketakutan kehilangan sang adik.

Sementara itu, adik bungsu mereka hanya bisa diam. Wajahnya kaku. Ia memeluk kakaknya yang sekarat dengan tangan kecil yang bergetar.

Ndok, ambilkan handuk...

Anak itu berlari, menyeret kursi untuk meraih handuk yang tergantung tinggi. Ia kembali, menyerahkannya dengan mata membendung air.


Sementara waktu berputar lambat di rumah itu, jauh di sisi lain, sepasang suami istri berjuang menjaga api dalam rumah tangga mereka.

Aku pernah melalui masa yang lebih sulit dari ini,” ucap sang istri. “Mencintaimu adalah anugerah. Jangan biarkan keraguan menghancurkan apa yang telah kita pertahankan.

Ia menggenggam tangan suaminya, mengingatkan bagaimana dulu mereka bertemu, bagaimana keduanya saling melawan dunia hanya demi sebuah keyakinan.

Aku menolak kenyamanan, aku tolak Amerika, aku tolak selimut hangat dan buah dengan garpu perak. Karena aku percaya... kamu adalah rumah.

Air mata mengalir tanpa suara. Hanya pelukan yang berbicara.

Lihat selengkapnya