Beberapa tahun yang lalu...
Di rumah bambu pinggir desa, sebelum pagi datang.
Lampu minyak bergoyang pelan di sudut ruangan. Di atas lantai bambu yang berderit, seorang pria duduk bersila, menulis dengan tergesa tapi hati-hati. Tangannya kaku karena dingin, namun matanya tetap tajam menatap halaman demi halaman yang mulai penuh tinta.
Wajahnya lelah, tapi bukan kelelahan yang membuatnya ingin tidur. Justru, malam itu adalah malam di mana ia ingin segalanya abadi.
“Jika nanti hidup tak mengizinkanku berkata langsung…
maka biarlah tinta ini jadi saksi bahwa aku pernah sangat mencintaimu, Diah…”
Itu adalah kalimat pertama di halaman pertama.
Angin malam menyelinap dari celah dinding gedek. Di dekat ranjang, istrinya sudah tertidur sambil memeluk selimut tipis. Ketiga anak mereka lainnya juga terlelap, meringkuk karena udara yang menggigit. Hanya satu suara yang terus ada: suara pena di atas kertas—dan detak hati seorang ayah yang tahu bahwa besok adalah hari paling sulit dalam hidupnya.
Ia menulis tentang rumah yang tak besar,
tentang sawah yang ia impikan bisa diwariskan,
tentang tangga bambu yang ia harap bisa dinaiki oleh anak-anaknya saat mengejar pelangi,
dan tentang seorang anak perempuan… yang bahkan belum tahu bahwa ia akan diambil dari pangkuan ibunya sendiri.
“Aku ingin rumah ini penuh tawa, bukan tangis.
Tapi jika aku harus mengorbankan satu untuk menyelamatkan semua…
biarlah aku tinggalkan kau pada dunia yang tak pernah aku percayai.”
Subuh datang perlahan. Udara lebih pekat, lebih sepi. Tapi ia masih menulis.
Tiga… empat… lima halaman—semuanya untuk seorang anak yang belum tahu apa-apa: Aulia Diah Salim.
Di halaman terakhir, ia menulis dengan tangan gemetar:
“Jika kelak kau membaca ini…
tolong, jangan marah padaku.
Aku hanya ingin kau hidup.
Dan jika kau hidup… aku akan menunggu.
Seberapa pun lamanya.
Dalam doa.
Dalam mimpi.
Dalam buku yang kututup pelan ini.”
Dan saat adzan Subuh berkumandang dari surau yang hanya berjarak tiga rumah,
ia akhirnya memejamkan mata.
Bukan karena mengantuk.
Tapi karena hatinya telah kehabisan kata.