Aulia Diah Salim

M. Bagus Sulistiyanto
Chapter #5

Palais Garnier


Beberapa dekade yang lalu…

Masa Pendudukan Jerman di Prancis (1940–1944)

Palais Garnier berdiri seperti dewa tua yang menolak tua. Megah, angkuh, dan berpendar dalam emas—tapi tak pernah benar-benar lepas dari bayang sejarah. Kala itu, alih-alih simfoni atau tari balet, lorong-lorong marmernya bergema oleh langkah sepatu bot tentara Jerman. Seniman-seniman Prancis dibungkam, partitur-partitur klasik disingkirkan, dan gedung megah itu berubah menjadi tempat sembunyi, konspirasi, dan pengkhianatan.

Di balik dinding operanya yang tebal, perlawanan lahir dari senyap. Surat-surat diselipkan di bawah lantai, sandi rahasia disampaikan lewat not balok dan sajak kabaret. Dan di antara mereka yang terlibat, ada sepasang nama: Benjamin dan Caroline Calandre.

Mereka bukan tentara. Bukan politikus.

Hanya sepasang penari dan pemain biola yang mencintai panggung.

Namun ketika panggung mereka diambil paksa,

mereka memilih menari dalam gelap demi kemerdekaan yang belum tentu datang.

“Ini bukan perang kami,” ucap Caroline suatu malam sambil menyembunyikan pamflet di balik skor simfoni.

“Tapi jika kami tak ikut melawan, anak-anak kita hanya akan mewarisi sunyi.”

Dan malam itu, untuk terakhir kalinya, Benjamin memainkan Bach dalam nada yang patah.

Lalu mereka menghilang—ditelan sejarah yang tak sempat mencatat namanya.

Mereka meninggalkan satu hal: Emilie, seorang anak yang tumbuh dalam warisan senyap,

dan Palais Garnier… yang menyimpan rahasia mereka dalam setiap retakan dindingnya.


Paris, Prancis – Sore hari

“Sebentar lagi gelap. Malam ini akan ada pertunjukan balet,” kata Emilie sambil menggamit tangan Diah.

Langkah mereka menyusuri tangga megah Palais Garnier, salah satu gedung opera paling tua dan megah di Eropa. Dibangun pada abad ke-19 atas perintah Napoleon III, tempat ini bukan hanya rumah bagi opera dan balet—tetapi juga rumah bagi sejarah. Pilar-pilarnya menjulang dengan ukiran emas, dindingnya dilapisi marmer, dan langit-langitnya dilukis penuh alegori tentang dunia, perang, dan cinta.

Diah menengadah menatap langit-langit berwarna safir dan emas, terpukau.

“Dulu aku hanya melihat tempat ini di buku sejarah seni… Sekarang aku berjalan di dalamnya,” batinnya.

Suara langkah kaki menggema. Di kanan kiri, pengunjung mulai berdatangan dengan jas dan gaun malam, menyatu dalam warna-warni lembut sore Eropa yang temaram.

“Kenapa orang Indonesia selalu menggunakan hati?” tanya Emilie tiba-tiba, menyandarkan tubuhnya pada pilar marmer dingin.

Diah menoleh. “Maksudmu?”

“Aku tahu banyak dari nenekmu. Tentang cara kalian bertahan hidup, bukan dengan kekuasaan… tapi dengan hati. Dengan senyum yang tetap muncul meski sedang sekarat.”

Diah terdiam. Kata-kata itu seperti memaksa ingatannya kembali ke rumah bambu itu—atap bocor, suara hujan, dan tubuh kecil Herawati yang menggigil di tengah malam.

“Aku tak pernah tahu rasa rindu… sampai aku menyadari bahwa hal yang paling tak pernah kucari, adalah hal yang paling aku butuhkan,” ucap Diah pelan.

“Dan kau bertemu mereka dalam mimpi?”

“Iya,” angguk Diah. “Begitu sering hingga aku mengira itu hanya bunga tidur.”

Emilie tersenyum, lalu mendekapnya. “Berarti kau beruntung. Aku bahkan tak pernah bertemu kedua orang tuaku, bahkan dalam mimpi pun tidak.”

Mereka berdua berdiri lama dalam diam.

Lihat selengkapnya