Tergerai helai demi helai oleh embusan angin. Teksturnya berupa-rupa. Keriting, lurus, atau bergelombang seperti lautan. Mau ia halus ataupun kasar, senantiasa menemani proses hidup seseorang, merekam data kasar dan halus. Ia rambut. Benda indah yang tumbuh lantang di kepala manusia.
Zi sedang fokus mengoreksi warna rambut model wanita yang duduk di kursi dengan wajah tegang seolah beberapa menit lagi akan dihukum mati. Tangan gadis muda itu sibuk menguji ketahanan warna rambut yang baru disemir itu.
“Aku jadi semakin gugup. Bagaimana hasilnya? Parahkah?” tanya sang model.
Zi merengut lalu mencubit pelan bahu model. “Enak aja! Itu berarti kamu nyepelein hasil kerjaku. Ini bagus, kok. Karena udah bleahcing, catnya masuk, lebih terang. Bagian rambutmu yang rusak udah kubuang. Lain kali, kamu harus merawat mereka dengan baik.”
Sang model menatap Zi geli. “Slow! Mereka bisa tumbuh lagi kapan saja. Rusak, potong, tumbuh lagi, cat, catok, memang udah seperti itu, ‘kan?”
“Setidaknya, mereka tidak rusak kalau kamu rawat dengan baik,” kata Zi sekarang sibuk menggunting ujung rambut kliennya. Sang model baru akan membuka mulut menyahuti, tapi urung, karena manajer acara ‘Jakarta Fashion Week’ datang menghampiri mereka.
“Ayo cepat. Sebentar lagi tampil,” kata manajer ke model, lalu pandangannya beralih ke Zi. “Hei, Zi, kamu buang handphone-mu ke mana? Mbakmu nelfon ke handphone-mu berkali-kali, nelfon ke kantor juga, barusan nelfon ke handphone-ku. Cepat sana. Mungkin ada yang penting,” kata manajer.
Zi terdiam membisu. Dalam kediaman itu ada berbagai tanya yang ia tidak ingin tahu apa jawabannya. Bukan tidak mau, lebih tepatnya, takut. Namun, rasa penasaran mengalahkan segalanya di saat yang tepat.
***
Zi masih diam membisu setelah menerima telepon dari Aisha, kakak perempuan tertuanya. Ia masih bergulat dengam pikiran dan perasaan sembari duduk di sudut acara, dekat kegelapan.
Mata Zi memandangi model-model yang berjalan lenggak lenggok di catwalk. Kaki-kaki panjang mereka terlihat seperti palang-palang kayu yang dulu sering dipakai kakek untuk menakuti anak-anak bengal yang tidak mau salat, termasuk Zi dan kakak-kakaknya.
"Lihat mereka, tataan rambut mereka bagus. Kurasa tahun ini adalah tahun gemilangmu," ucap manajer. Matanya menatap nyalang model langsing bule dari Rusia yang baru berjalan masuk.
Zi hanya mengangguk. Pikirannya kalut. Kata-kata sedang tidak bersahabat dengannya.
"Kamu kenapa? Mbakmu marah-marah? Kok wajahmu jadi muram begitu?"
Zi segera menghapus lipstik pink dari bibirnya dengan tangan. Asal-asalan dan tanpa semangat. "Abi sakit. Aku disuruh pulang," jawabnya.
"Pulang dong sana. Namanya juga orang tua sakit. Ayo, sana, pulang. Toh, di sini juga udah beres. Biar aku dan anak-anak yang urus," kata manajer.
Dengan anggukan lemah Zi menanggapi lalu pergi.
Pulang. Zi tahu benar pulang yang dimaksud manajer hanya pulang biasa sekadar melihat orang tua yang sakit. Namun, pulang bagi Zi satu kata menakutkan. Pasti bukan pulang biasa. Kendati begitu, Zi tetap harus pulang.