Gumpalan awan di langit membentuk barikade. Ada juga yang terlihat seperti kelinci, orang salat, dan bentuk lainnya. Lalu beberapa bertabrakan dan menyatu menjadi gumpalan lagi.
Di atap, ditemani jemuran pakaian dan kompor yang sedang berkerja memasak kari domba, Zi masih memandangi hamparan langit, sampai akhirnya teralih ke sebuah rumah bernuansa katedral berjarak beberapa rumah dari rumah Abi. Rumah besar yang sebagian berbahan kayu. Bukan hanya arsitektur uniknya yang menarik, pintu depan begitu besar dan menjulang tinggi. Ada sepasang pegangan besi berbentuk salib yang bisa diketukkan ke pintu. Di kanan kiri rumah tersebut ditanami pohon pinus. Bahkan Zi masih teringat jelas aroma khas pinus itu dalam ingatannya.
Tiga kata yang menggambarkan rumah itu bagi Zi. Indah, bermain, dan Joseph.
Joseph adalah teman masa kecil Zi. Anak laki-laki berkulit luar biasa putih pucat dengan bintik-bintik merah di sebagian pipi dan hidungnya. Rambutnya kemerahan dan wajahnya oval seperti anak perempuan. Jangan salah paham, Joseph anak laki-laki yang tampan. Tertampan kedua bagi Zi, setelah Furqan, kakak laki-lakinya.
Saat Zi berusia tujuh tahun, Joseph dan keluarganya pindah ke lingkungan mereka. Ayah Joseph seorang pendeta Kristen Lutheran. Kehadiran mereka membuat kehebohan. Ayah Joseph dan jemaatnya ingin membangun gereja di daerah itu, tapi warga yang mayoritas beragama Islam menolak. Ayah Joseph tetap berusaha dengan mengumpulkan tanda tangan warga, tapi hal itu sia-sia karena tetap saja kalah suara. Akhirnya mereka memutuskan untuk membangun gereja di sebidang tanah pemberian keluarga Kristen kaya raya di kampung sebelah.
Efek dari peristiwa itu, keluarga Joseph jadi tidak terlalu akrab dengan warga. Bukan sakit hati, karena ayah Joseph orang baik yang welas asih. Mungkin hanya menjaga agar tidak ada keributan lagi.
Joseph sendiri lebih banyak diam. Ia hampir tidak punya teman. Anak-anak warga bahkan cenderung mengucilkan bahkan mengejeknya di berbagai kesempatan.
"Katakan pada roh Kudus untuk menjadikan seluruh orang di dunia ini baik hati. Apa dia bisa? Bukannya kalian bilang kalian semua sudah ditebus dosanya dan akan masuk surga? Berarti orang jahat juga masuk surga?" celetuk seorang anak mengganggu Joseph yang tengah berjalan pulang dari gereja.
"Kenapa kamu diam saja, anak pucat? Enak sekali ya kalau semua orang masuk surga padahal berbuat banyak dosa," celetuk yang lain.
Lalu mereka mulai menertawakan hal lain. Hal-hal yang berkaitan dengan Joseph dan keyakinannya. Tidak lama kemudian, Furqan, anak laki-laki tanggung bertubuh tinggi seperti orang dewasa datang membubarkan anak-anak tersebut. Furqan teluk belanga putih bersih dan kopiah putih terlihat tampan berwajah persis ayahnya, keturunan Pakistan.
"Hei! Jangan suka ganggu orang! Kalian ini nakal! Nanti Kakak adukan sama Ustaz. Pergi sana! Tak baik menghina orang lain!" seru Furqon. Anak-anak langsung ketakutan dan bubar. Furqon pun pergi menuju bangunan pesantren.
Sementara Joseph berhenti berjalan dan merapikan jubah hitam panjangnya dari debu. Debu yang dilemparkan anak-anak nakal tadi. Zi yang sedari tadi sembunyi di belakang perlahan muncul dan berdiri di dekat Joseph. Ada senyuman di wajah Zi yang disambut Joseph dengan rengutan.
"Kamu mau mengejekku juga seperti mereka?" tanya Joseph. "Maaf, nggak perlu repot-repot. Aku nggak akan terpengaruh. Ada kasih Allah yang selalu menguatkanku," lanjut Joseph membusungkan dada bersikap defensif.