Ini mau ayah Zi. Ia tidak boleh pergi dari rumah. Seluruh keluarga membujuk Zi untuk sesekali saja menuruti kemauan Abi apalagi Abi sedang sakit. Terus terang tidak betah berlama-lama di rumah, tapi setiap waktu Umi menakuti-nakutinya tentang kemungkinan Abi bisa pergi kapan saja. Jangan sampai Zi menjadi anak durhaka saat masa itu tiba. Zi sudah lama kurang bisa cocok dengan ibunya sendiri, karena itu ia tidak kaget lagi mendengar kata-kata Umi yang tidak mengenakkan. Menurutnya, bahkan tidak bisa di-filter lagi mana ucapan Umi yang bisa membuat tenang.
Pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya. Suasana pagi di rumah putih Abi terasa berbeda dengan suasana pagi di tempat lain. Sebelum Subuh sudah terdengar suara lantunan ayat suci Alquran dan takbir-takbir untuk setiap gerakan salat. Setelah selesai salat dan mengaji, para wanita mulai masuk ke dapur menyiapkan sarapan. Sebagian asisten rumah sibuk berkutat dengan pakaian yang mau dicuci atau dijemur.
Zi melepaskan mukenanya selepas salat Subuh dan memilih berjalan-jalan di sekitar rumah. Sudah lama ia tidak melihat yayasan Tahfidz Alquran Ar-Rahman dan sekolah madrasah Abi. Sekolah itu besar dan lengkap, mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) setara Sekolah Dasar (SD) pada sekolah umum, Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang setara dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Madrasah Aliyah (MA) setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sudah pasti ramai. Dari tahun ke tahun semakin berkembang dan bertambah pelajar yang mendaftar bersekolah di sana karena berkonsep pesantren dari segi materi, cara penerapan, praktek, dan teori, meski tidak full 24 jam belajar dan bukan asrama.
Dalam hiruk pikuk pagi itu, para murid wanita yang telah selesai salat Subuh mulai menyusun sepatu-sepatu di rak dan memasuki ruang forum. Setiap pagi memang diadakan kajian lalu sarapan bersama sebelum memulai sekolah. Para staf dapur bergotong royong menyiapkan makanan berupa nasi goreng, tempe orek, ayam goreng, dan gulai kentang. Bergelas-gelas teh manis digilir dari satu tangan ke tangan lain mengisi setiap meja murid. Murid-murid laki-laki mengisi barisan bangku sebelah kiri, sedangkan murid-murid perempuan mengisi barisan bangku sebelah kanan. Saling berhadapan, dengan tirai kain menghalangi di antara keduanya. Kelihatannya guru yang mengisi kajian belum datang. Para murid memanfaatkan kesempatan dengan berzikir, atau menghafal kembali surah hafalan Alquran.
"Assalamualaikum," sapa Zi sambil tersenyum hangat kepada semua orang di perkarangan sekolah. Staf dapur, guru-guru, qori, qoriah, para murid yang baru tiba menuju ruang forum.
Seketika, suasana hening. Mata-mata bingung memandang Zi penuh tanya. Beberapa dari mereka mengenali Zi dan dengan cepat menyahuti salamnya.
"Waalaikumsalam, Ukhti." Mereka menjawab salam sambil berusaha keras tidak memandang ke arah kepala Zi yang tak ditutup kain.
Rambut cokelat tembaga Zi yang basah baru dikeramas tergerai indah sampai ke pinggang. Beberapa surai rambut itu jatuh tergerai ke bahunya.
Zi masih tersenyum sambil jalan berkeliling. Ia dan saudara-saudaranya sama seperti murid-murid lain, menghabiskan waktu belajar agama di yayasan itu. One day one juz. Terasa berat bagi beberapa anak lain, tapi tidak bagi Zi. Salah satu kelebihan yang Allah berikan padanya adalah kepintaran dan daya ingat melebihi saudara-saudaranya yang lain. Di usia belia ia sudah fasih membaca Alquran dan hafal banyak surah, sementara Zulfa dan Nafiza kakak perempuannya masih terbata-bata menghafal juz ke-30.
Nilai akademis Zi selalu baik dalam pelajaran apa pun. Fiqih, tafsir, dan lainnya. Bacaannya bagus dengan makhroj dan tajwid sempurna.
Semua orang tahu hanya satu yang salah dari Zi. Zi tidak pernah merasa salah, ia sebut dirinya berbeda. Namun, tidak seorang pun bisa menerima pemikirannya.
"Tertulis jelas dalam Alquran dan hadis tentang perintah wanita menutup auratnya. Tidak ada yang boleh terlihat kecuali wajah dan telapak tangan. Bagaimana bisa dia seperti itu?"
"Bagaimana mungkin seseorang bisa menjadi penghafal Alquran sementara ia tidak melaksanakan perintah Allah? Bagaimana kebaikan bisa berjalan dengan keburukan?"
Semua pertanyaan itu sering dilontarkan orang-orang kepada Zi dan keluarganya. Abi sudah terlalu gerah menjawab semua pertanyaan itu. Satu yang ia yakini, mungkin Allah memberikan cobaan padanya melalui Zi. Anak perempuan bungsunya, yang paling pintar, paling cantik, dan paling sedap dipandang mata, seiring bertambahnya usia, memaknai berbeda ayat-ayat Alquran dan hadis tentang perintah berhijab.
Pada waktu Abi tidak bisa menahan diri, ia akan katakan kepada semua orang dan Zi mengapa semua bisa terjadi.
"Jika hanya ilmu, setan pun pandai. Membaca Alquran, setan pun cerdas," ucapnya.
Perkataan sang ayah itu yang membuat Zi mantap pergi meninggalkan rumah Abi dua tahun lalu.
Dan kini, pertanyaan-pertanyaan tentang keanehan Zi mulai merebak lagi di seluruh yayasan. Kabar kedatangan Zi sudah diketahui banyak orang, tapi tidak banyak yang menyangka Zi memang seperti apa yang diceritakan, bukan gosip atau dongeng belaka.
Aisha menghampiri Zi sebelum seluruh sekolah jadi gaduh. Banyak murid terbit ragu dalam hati mereka setelah melihat Zi. Aisha tidak ingin menambah kesakitan Abi.
"Zi, kenapa di sini? Ayo pulang," ajak Aisha.
Zi menatap Aisha tajam. "Kenapa, Kak? Kakak juga malu aku ada di sini?"
"Sudahlah, Dek. Bukan begitu. Zulfa datang bersama anak-anaknya. Dia nanyain kamu. Kasihan dia, anaknya lagi sakit demam," kata Aisha berusaha mengalihkan.
Zi mau ikut dengan Aisha menemui Zulfa kakak perempuan keempatnya. Terlahir setelah Furqan dan sebelum Nafiza.