Satu minggu telah berlalu sejak kepergian Joseph. Sejak itu pula kesedihan begitu melekat pada Zi. Tidak mau pergi barang sedetik pun. Hari-hari di rumah Abi terasa semakin muram.
Dia bahkan menghapus aplikasi Instagram setelah melihat postingan-postingan terakhir Joseph di sebuah bandara di Kalimantan. Ia bersama teman-teman misionarisnya sempat menginap dulu di penginapan. Dari beberapa postingan dan caption, terlihat wanita cantik bernama Sybill tidak pernah terlewat sedikit pun. Joseph selalu me-mention nama akun wanita itu. Begitu pula sebaliknya. Zi pun sama seperti wanita kebanyakan, suka mengecek akun media sosial wanita lain yang dirasa 'mengganggu'.
Tidak ada seorang pun yang mengerti hubungan seperti apa sebenarnya yang dijalin oleh Zi dan Joseph. Namun, semua merasakan seiring berjalannya waktu, kondisi menjadi tidak nyaman. Dari sepasang anak kecil yang suka bermain di padang ilalang, menangkap capung, mandi di sungai kecil sambil menangkap anak udang, kini telah menjadi wanita dan lelaki dewasa dengan perbedaan yang begitu kontras.
Zi mengartikan kesakitan hatinya disebabkan karena kehilangan seorang teman. Cemburu pada Sybill juga karena merasa sahabatnya direbut. Wanita itu orang baru, sedangkan Zi adalah anak perempuan yang banyak berbagi segala hal dengan Joseph. Dari penyakit bisul menular yang ditularkan Zi pada Joseph hingga seluruh keluarga Joseph ikut tertular. Lalu bergantian Joseph menularkan penyakit mata merah pada Zi sampai Zi juga menularkan keluarganya. Belum lagi saling tular menular penyakit cacar air, flu, demam berdarah, dan lainnya. Bagi orang lain mungkin hal yang tidak baik, tapi bagi Zi semua itu adalah kenangan eksklusif.
Di kursi yang menghadap ke jendela kamarnya, Zi masih memikirkan Joseph tanpa mau melihat foto Joseph lagi. Tidak ada yang benar-benar foto Joseph sekarang. Pemuda putih itu sekarang selalu terlihat bersama Sybill. Mereka tampak serasi layaknya model cover novel romance.
Keributan di lantai bawah membuat Zi terhenyak dari lamunan. Ada suara tangisan seperti melolong seorang wanita, disusul dengan tangisan wanita lainnya. Sepertinya lebih dari dua orang wanita. Jantung Zi seperti akan melompat dari tempatnya. Segera saja wajah Abi melintas dalam benaknya. Jangan-jangan ....
Zi melompat dari kursi dan berlari meninggalkan kamar. Langsung buru-buru menuju asal keributan. Kaki Zi terselip membuatnya hampir saja jatuh dari anak tangga.
Di halaman terbuka pada bagian tengah rumah-kediaman keluarga Ali Jafar Khan memang memiliki halaman luas di tengah bangunan rumah-sudah berkumpul beberapa wanita saling berpelukan dan menangis. Mereka adalah Umi, Aisha, Zulfa, dan Nafiza, kakak kelima Zi.
"Ada apa? Kenapa ini?" tanya Zi panik seraya menarik Aisha dari kerumunan wanita yang menangis.
"Nafiza, Dek ...." Kak Aisha mencoba menjawab di tengah isakan.
"Kenapa dia?" tanya Zi tak sabar sambil memperhatikan Nafiza. Baru ia sadari Nafiza sedang menggendong anak perempuannya. Di dekat Nafiza ada dua koper besar. Apa lagi ini? Batin Zi bingung. Perasaannya jadi tidak enak, apalagi Umi menangis sedih sekali. Nafiza itu putri kesayangannya.
"Suaminya izin ingin menikah lagi." Aisha melanjutkan jawaban yang menggantung. Setelah itu, tangisan meledak lagi. Nafiza terlihat begitu hancur.
"Lalu dia tidak mau dan diusir dari rumah?" Dengan getir, Zi mencoba menerka lanjutannya.
Nafiza langsung menatap Zi tidak senang, merasa Zi kurang bersimpati padanya.
"Aku pergi atas keinginanku sendiri. Sampai kapan pun aku nggak akan setuju Mas Hari menikah lagi," kata Nafiza berapi-api pada Zi.
Zi tidak ikut menangis bukan karena tidak menyukai Nafiza. Namun, ia juga entah mengapa tidak begitu mengasihani Nafiza. Sebelum menikah, keluarga mereka sudah melarang Nafiza menikah dengan lelaki pilihannya itu. Pria itu kakak kating Nafiza di kampus. Abi tahu background keluarga Hari Nugraha tidak begitu baik, dikenal suka semena-mena dengan wanita, tapi Nafiza selalu keras kepala dan berdalih; anak tidak menanggung dosa orang tua. Umi yang termakan rayuan Nafiza akhirnya membujuk Abi menyetujui pernikahan mereka. Terpaksa Abi setuju. Bukan karena rayuan Umi, tapi takut Nafiza nekad kawin lari.
Sekarang Zi menatap Nafiza dengan perasaan bercampur aduk. Ia meraih anak perempuan berusia dua tahun dari Nafiza, satu-satunya orang yang membuat hatinya iba.
"Udah, jangan menangis lagi. Dia kan pilihanmu sendiri," celetuk Zi. Umi dan Nafiza langsung mendelik tidak senang pada Zi.
Aisha menggeleng melihat Zi. "Zieh, kamu kan sebentar lagi menikah. Nggak baik bicara seperti itu sama seorang istri yang lagi bermasalah rumah tangga, meski suaminya adalah pilihannya sendiri. Pekalah, Zi," kata Aisha lembut. Namun, Zi kurang suka. Aisha biasanya membelanya.
"Setidaknya, berusahalah tegar di depan anakmu," ujar Zi.
Nafiza hendak menyahuti Zi lagi penuh emosi, tapi urung begitu tatapan matanya bertemu dengan tatapan kosong anak perempuannya yang kini ada dalam gendongan Zi.
Segera Nafiza menyeka air matanya. Aisha meminta beberapa asisten rumah membawakan koper-koper Nafiza dan membereskan kamar untuknya.
Zi menghela napas berat. Sebenarnya hal yang bagus Zulfa dan Nafiza ada di sini. Mereka akan tinggal di rumah Abi untuk waktu yang tidak diketahui. Rumah mereka jadi sedikit ramai seperti dulu. Namun, sayang keramaian itu diiringi dengan kesakitan para wanita.
Pandangan Zi menerawang jauh. Bagaikan ada angin dingin yang menerpa seluruh tubuhnya. Ia jadi semakin tidak ingin menikah.