Zi menatap bayangan dirinya di cermin panjang di kamarnya. Gaun putih berbahan sutra dengan motif bunga mawar putih, juga ditambahkan hiasan payet-payet bunga putih dan gold menambah kemewahan. Zulfa memasangkan jhumar, perhiasan kepala yang dipasang pada bagian kiri rambut berbentuk layang-layang atau mirip segitiga.
"Masya Allah, cantiknya engkau, Marzieh," ucap Zulfa kagum. Ia sampai menitikkan air mata. Dengan lembut ia meremas bahu Zi. "Aku bahagia melihat adikku memenuhi mimpiku," lanjut Zulfa tersenyum haru pada Zi.
Zi menatap Zulfa lekat-lekat. "Bukannya Kakak bilang bahagia dengan pernikahanmu? Kamu bilang itu jalan surgamu, Kak? Lalu kenapa engkau bermimpi melalui aku?" tanya Zi serius.
Zulfa terdiam sejenak, lalu kembali tersenyum dan memegang pipi Zi. "Udahlah. Nggak perlu dibahas. Sekarang yang terpenting itu kamu. Alhamdulillah, gaun pengantin ini cocok sama kamu."
Zulfa menyibukkan diri membereskan kotak perhiasan di meja rias, menyembunyikan ekspresi wajahnya. Zi masih memandangnya muram.
"Aku nggak yakin ini akan jadi jalan surgaku," celetuk Zi.
Zulfa menghentikan kegiatannya dan memandang Zi cemas. Begitu pula dengan Aisha langsung terdiam dan bertukar pandang dengan Zulfa, saling mengirim isyarat.
Zi berbalik menatap bayangannya lagi di cermin, lalu teralih ke foto yang tertempel di cermin. Potret dua orang anak kecil. Si anak laki-laki memakai setelan jas hitam dan topi fedora tersenyum jail pada anak perempuan kecil berambut panjang yang memakai shalwar kameez. Kedua anak itu memegang cokelat batang dan tampak ada noda cemong di pipi mereka.
"Rasanya detik ini juga aku ingin lari dari sini, Kak. Mungkin kali ini akan pergi jauh dan nggak akan kembali." Zi menatap ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Di luar tampak Abi yang belum pulih benar sedang tertawa bersama Umi, Furqon, dan beberapa sanak saudara yang datang dari dari Lahore dan Gunung Anyar, kampung Umi.
"Tapi aku nggak sanggup melakukannya," kata Zi sambil menatap Abi. Teringat kembali tadi malam Abi memanggilnya. Belum sempat bicara apa pun, Abi memeluknya dan menangis tersedu-sedu.
"Terima kasih, Zieh. Maaf." Itu yang berulang kali dikatakan Abi pada Zi.
Aisha dan Zulfa mendekati Zi. Zulfa merangkul Zi berusaha memberikan sandaran pada sang adik saat pertahanannya hampir rubuh.
Aisha membentangkan selembar dupatta, kain selendang khas India dan Pakistan, ke kepala Zi.
"Kelihatannya semua udah pas. Nggak ada yang perlu dirisaukan Umi lagi," ucap Aisha dengan suara hampir menghilang.
Zi melamun melihat sosoknya kini sudah lengkap mengenakan pakaian yang akan dipakainya di hari itu. Hari di mana segalanya akan berubah. Gaun, dupatta, perhiasan, semuanya tampak indah. Hanya raut wajah Zi saja yang terlihat muram.
Seperti ada awan mendung yang enggan pergi. Hujan tak juga turun, namun dinginnya sudah menembus pasa tiap malam, gemuruh angin sudah semarak di dalam jiwa.
Zi jadi ingat pesan whatsApp dari Joseph waktu itu tentang mimpi Joseph. Laki-laki itu memimpikan Zi memakai pakaian indah, tapi wajahnya murung. Mama Joseph menganggap mimpi itu punya makna tidak baik.
Setetes air mata akhirnya lolos jatuh ke pipi Zi. Ia bahkan bingung dengan kesedihannya. Apa tepatnya yang membuatnya sedih dan begitu berat? Sebenarnya tahu, tapi ragu dan takut. Satu yang pasti, Allah yang memberikan rasa itu di hati Zi melengkapi cerita hidupnya.
***
Suasana di rumah Ali Jafar Khan sore itu sama ramainya dengan beberapa hari sebelumnya. Semua orang begitu antusias menyambut pesta pernikahan Marzieh Feroze Khan dengan Ibrahim Nazar.
Tenda-tenda mulai dipasang, hiasan rangkaian-rangkaian bunga dinaikkan di atas langit-langit, sepasang kursi pengantin sudah disusun untuk acara walimat nanti.