Zi terbangun karena silau cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Perlahan ia mengulet dan merasakan tubuhnya pegal. Oh ya, pasti karena posisi tidur tidak beraturan di sofa. Zi langsung mengbuang napas kesal menyadari dirinya kembali ke dunia nyata. Ia di kamar dan telah menikah. Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri.
Mata Zi langsung tertuju ke meja kerjanya yang menghadap jendela. Di sana, dengan disinari cahaya matahari, lelaki tampan yang kini sudah mengenakan kemeja, bukan kurta pengantin lagi, tengah duduk sambil membolak-balik sebuah buku di meja. Tampak begitu fokus memperhatikan halaman demi halaman buku.
Zi teperanjat begitu menyadari sesuatu. Buru-buru ia menerjang ke arah Ibrahim dan merebut buku "The Adventure of JoZi" miliknya dari tangan lelaki itu.
"Ini bukuku. Kenapa kamu menyentuhnya?" seru Zi emosi.
Ibrahim tampak kaget dan bingung melihat reaksi Zi. Ia mengangkat bahu dan bertanya balik, "Memangnya kenapa? Kamu kan istriku."
Zi mendengkus seraya memeluk erat buku itu. Ekspresi keras kepala terbaik ia tunjukkan, siap berperang dengan musuh di hadapannya. "Jadi kamu berpikir pernikahan membuat privasi setiap orang hilang?"
Ibrahim malah tertawa pelan. Sebenarnya masih bingung, tapi jadi semakin penasaran. Rasa bahagia pula menyelimutinya karena pertama kali mendengar Zi bicara meski bukan dalam situasi romantis. "Privasi? Suami istri udah seharusnya tidak mempunyai rahasia."
Tiba-tiba saja air mata Zi sudah menetes ke pipi meronanya. Ibrahim semakin serba salah harus berbuat apa. Ingin meraih Zi, tapi ia tahu hal itu akan membuat wanita di hadapannya semakin mengamuk bak singa betina yang sarangnya dimasuki penyusup. Ibrahim adalah si penyusup yang telah lancang mengganggu "anak singa betina". Mungkin buku itu bisa dianalogikan demikian.
"Kenapa kamu mau menikahiku? Kenapa tidak menikah dengan wanita lain saja yang sesuai dengan kamu dan keluargamu? Kenapa memilihku padahal kamu tahu aku begini?" cecar Zi emosional. Ia lalu membanting bantal-bantal di ranjang dan menangis semakin terisak.
Ibrahim merasakan seperti ada beban berton-ton jatuh menimpanya dan meremukkan tulang rusuknya. Perlahan ia melangkah mendekati Zi dan menarik pelan tangan Zi. Langsung saja Zi menempisnya kasar, mata Zi merah menatap Ibrahim penuh amarah.
"Aku nggak ngerti. Adakah yang menzolimimu dalam pernikahan ini? Siapa orangnya? Aku, keluargaku, ayahku, atau kakakmu, Furqon?" tanya Ibrahim.
Zi terdiam, tidak sanggup menjawab. Ibrahim tersenyum sinis.