Seminggu sudah dilewati Zi tinggal bersama sang suami di rumah keluarga Nazar. Selama itu juga Zi merasa amat tersiksa.
Kedua mertuanya orang baik. Ayah mertua seorang pemuka agama yang juga pengusaha kaya raya. Beliau menjalankan perusahaan furnitur berkualitas terbaik yang diimpor ke luar negeri. Sementara ibu mertua adalah wanita ramah yang menjabat sebagai ketua yayasan sebuah madrasah sanawiyah sekaligus mengajar di sana. Ibrahim mempunyai tiga orang saudara. Dua kakak laki-laki dan satu orang adik perempuan. Semuanya telah menikah, bahkan sang adik lebih dulu menikah dari Ibrahim. Dua saudaranya tinggal di luar kota. Hanya adik perempuannya yang tinggal di Surabaya.
Saudara Ibrahim memang tidak sebanyak saudara Zi, tapi rumah Ibrahim sama saja ramainya dengan rumah Zi, bahkan lebih banyak penghuninya. Begitu tiba di rumah itu, Zi diperkenalkan dengan adik ayah mertuanya, seorang janda yang biasa dipanggil Wak Angah. Itu sebutan untuk anak tengah atau anak kedua dalam keluarga Melayu. Sementara ayah mertua sendiri anak ketiga dan dipanggil si Alang. Saudara pertama mereka si Ulung sudah meninggal dunia di tanah kelahiran mereka Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Ada pula Makcik Uncu si anak paling bungsu yaitu adik paling kecil ayah mertua yang turut diperkenalkan pada Zi. Wak Angah dan empat orang anaknya tinggal di rumah itu, dua orang anaknya masih bersekolah SD, sementara dua lagi dikuliahkan ayah mertua Zi di Yogyakarta dan satu masuk pesantren. Sedangkan Makcik Uncu sedang sakit dan hanya terbaring seharian di kamarnya. Tidak hanya itu, beberapa keponakan ayah mertua Zi juga datang merantau ke Surabaya. Namun, selama seminggu Zi berada di sana, ia melihat para keponakan itu keseringan duduk-duduk santai seharian. Belum lagi nenek dari pihak ibu mertua juga tinggal di sana Dibuatkan bilik khusus untuk janda tua itu di samping rumah mertua. Sang nenek juga sudah tidak bisa berjalan, hanya duduk disorong ke sana ke mari dengan kursi rodanya. Pokoknya rumah orang tua Ibrahim sangat ramai. Setiap sudut pasti selalu ada orang. Kalau bukan para keluarga, ya rekan pengajian ayah mertua yang setiap hari mengadakan majlis taklim dan lainnya.
Tidak ada satu pun yang secara terang-terangan menyakiti Zi. Namun, peraturan di rumah itu begitu rumit. Setiap pagi, para wanita harus masuk ke dapur masak-memasak. Wak Angah setiap hari mengetuk pintu kamar dan mengajak Zi membantu memasak di dapur super besar. Setiap hari ada bermacam-macam masakan yang dimasak. Semua harus rapi dan lezat, bahkan wortel untuk sup harus dipotong dengan bentuk ukiran bunga. Pembantu mengerjakan pekerjaan cuci mencuci, setrika pakaian, membersihkan rumah, dan halaman. Pekerjaan yang dirasa penting termasuk masak harus si tuan rumah termasuk para menantu turut andil.
Baru hari pertama saja Zi sudah menggagalkan kelezatan satu toples besar halua, yaitu manisan buah pepaya, buah renda, buah gelugur, kolang kaling, atau cabai. Zi lupa cara menghilangkan getah buah renda sehingga ia kebingungan sendiri lalu menambahkan banyak garam ke buah renda yang direndam di larutan gula yang sudah lebih dulu dicairkan Wak Angah, berharap getah itu hilang. Hasilnya, menurut Wak Angah kecut dan lengket tak karuan. Ia beberapa kali mengira Zi menyentuh larutan gula dengan tangannya.
"Begitulah kalau anak gadis tidak pernah diturunkan ke dapur oleh ibunya," celetuk Wak Angah pelan pada orang-orang yang ada di dapur. "Padahal sudah tiga kali aku jelaskan cara hilangkan getahnya. Rendam dulu buah rendanya pakai garam. Malah garamnya dimasukkan ke manisan."
Zi meninggalkan dapur dengan muka masam tanpa peduli orang-orang memperhatikannya.
Di hari pertama kedatangan Zi saja seluruh rumah sudah heboh. Banyak yang heran kenapa ada wanita muslimah anak seoranh ulama yang tidak memakai jilbab. Penampilan Zi dianggap tidak biasa bagi mereka. Walaupun Zi selalu sopan mengenakan salwar khameez, tetap saja kepolosan kepalanya yang memamerkan rambut panjang indah membuat setiap orang bertanya-tanya.
"Apa dia nggak punya malu? Apa yang ada di pikirannya? Rambut kan aurat."
"Mungkin orang tua dan saudaranya nggak ngajarin dia dengan benar."
"Kok bisa ya dia kayak gitu? Hafal Alquran, tapi nggak mengamalkan isinya dengan baik."
"Satu helai rambut hukumannya 70.000 tahun di neraka. Hiii ... nauzubillah min dzalik. Jangan sampai kayak dia."
Zi sudah sering dibisik-bisikin orang tentang dirinya. Namun, kali ini semua perkataan orang-orang di rumah itu membuatnya tidak nyaman, marah, dan kehilangan selera makan. Sesungguhnya ia ingin berteriak membalas umpatan dan cibiran semua orang.
Coba tanyakan pada keluarga kalian terutama anak kalian, mengapa dia mau menikahi wanita ahli neraka pecinta aurat? Tanya dulu pada Ibrahim dan ayahnya, baru hujat diriku, batin Zi.
Zi merasa bukan hanya Wak Angah yang tidak menyukainya, nenek juga sering menyindirnya. Diam-diam memanggilnya dengan sebutan "belegug" atau "awewe bangor" disertai dengan ocehan lain dalam bahasa Sunda yang tidak dimengerti Zi. Biasanya orang-orang di rumah itu akan menyembunyikan tawa mereka karena ocehan nenek itu. Beberapa kali Ibrahim mencoba menasihati neneknya untuk tidak bicara seenaknya tentang Zi apalagi dengan bahasa kasar, tapi wanita tua itu tidak peduli dan malah menjitak kepala Ibrahim.
Ini bukan masalah masak memasak di dapur atau pekerjaan rumah lagi. Bukan tentang halua renda bergetah, wortel tak berukiran bunga, gulai santannya pecah, bumbu halus kunyit harus dibakar dulu, susunan pakaian harus sejajar dan sesuai warna, tanaman harus sambil didoakan ketika disiram, atau sejenisnya. Lebih dari semua itu hingga Zi merasa ingin meledak.
Puncaknya malam itu, Zi berlari dari kamarnya ingin menemui Aisha yang datang berkunjung, tapi ia terlalu ceroboh sampai menabrak nenek di koridor sampai nenek jatuh berserta kursi rodanya. Sebenarnya nenek tidak luka, tapi ia kaget luar biasa dan sesak nafas. Langsung saja seluruh ruma heboh. Nenek dibawa ke rumah sakit.