Namanya Marzieh Feroze Khan dan biasa dipanggil Zi. Anak perempuan berusia sembilan tahun yang menggemaskan. Ke mana-mana selalu memakai shalwar khameez, pakaian khas India dan Pakistan. Ia memiliki lima kakak perempuan. Semua saudarinya menutup rapat rambut mereka sesuai perintah Allah Subhana wa 'Taala. Hanya Zi yang selalu ingin rambutnya tergerai bebas.
Zi mempunyai sahabat karib bernama Joseph. Mereka begitu menyukai pesta terutama pesta pernikahan. Setiap kali janjian untuk pergi bersama ke pesta pernikahan di sekitar rumah, mereka akan membuka jendela kamar masing-masing dan mengibarkan bendera warna emas buatan sendiri sambil melambai-lambaikan tangan.
"Joseph! Joseph! Ayo cepat! Joseph!" teriak Zi riang di jendelanya.
"Zi! Aku tunggu di bawah! Oke, Zi!" sahut Joseph dari jendela rumahnya begitu melihat sosok Zi di jendela rumahnya.
Sebenarnya mereka tidak begitu mendengar jelas perkataan masing-masing karena rumah mereka besar dan berjarak sekitar tiga rumah. Namun, kamar mereka letaknya berseberangan jadi bisa saling melihat dari jendela.
"Berisik, Zi!" Nafiza selalu kesal melihat Zi teriak-teriak dan terdengar sampai ke kamarnya di sebelah.
"Tutup saja telingamu, Nafiza," balas Zi sengit. Ia lalu terburu-buru pergi ingin menemui Joseph.
"Pasti kamu mau pergi ke pesta sama Joseph. Umi kan bilang kalau undangan sama Umi aja bareng kami. Kenapa kamu ikut Kak Aisha terus? Nanti aku bilangin ke Umi, ya!" teriak Nafiza.
Zi tidak peduli dan tertawa riang seraya berlari keluar kamarnya. Ia mencomot bolu tart yang dibawa asisten dari dapur, mencolek perut gendut paman tukang kebun yang langsung kaget dan tertawa.
Hari ia akan ikut Aisha ke undangan pernikahan tetangga mereka. Kegiatan menyenangkan dengan Joseph sudah terbayang di benaknya. Seperti biasa, mereka akan menjejalahi setiap sudut pesta menyicipi camilan yang ada seperti ice cream, bakso, aneka kue, es berbagai rasa, pisang, dan mengambil hiasan telur di dekat pengantin. Biasanya akan berebut dengan anak-anak lainnya, tapi Zi dan Joseph adalah juara pengumpul hiasan telur.
Pesta pernikahan itu membuat mereka bahagia, begitu juga anak-anak lainnya. Atmosfer setiap pesta memang terasa beda. Zi dan Joseph akan berkumpul bersama anak-anak lainnya bercanda, tertawa, menari, dan bernyanyi sepuasnya sampai mereka diajak pulang.
Seiring berjalannya waktu, bukan hanya aneka makanan pesta dan pernak-perniknya yang mereka sukai. Zi dan Joseph sering termangu memandangi ritual pernikahan, pengucapan ijab qabul atau penyerahan mahar.
Keduanya lalu ingin bermain nikah-nikahan di Padang ilalang. Dikelilingi anak-anak lain, Joseph memperagakan dirinya menjadi pengantin pria dan menikahi Zi sebagai pengantin wanitanya.
Joseph yang memakai peci menyalami tangan seorang anak yang berakting menjadi ayah Zi, lalu berujar dengan iseng.
"Saya terima ni ...." Joseph berkata.
"Eh, tunggu, tunggu, pakai ini dulu biar jadi dewasa," ujar anak lain seraya memakaikan cambang palsu ke wajah Joseph. Semua orang langsung tertawa melihat tampang Joseph.
Zi yang memakai mahkota bunga tidak suka melihat tampang Joseph seperti itu dan langsung menarik cambang palsu.
"Aduuuh! Sakit, Zi!" pekik Joseph memegangi pipinya.
Zi tertawa. "Maaf. Habis kamu nggak cocok kayak gitu."
Mereka melanjutkan permainan. Joseph mengucapkan kalimat ijab qabul dengan lantang yang disusul tepukan meriah anak-anak. Tanpa diduga, Joseph mengeluarkan cincin emas berhiaskan berlian dan memakaikannya di jari Zi.
"Wow!" Semua anak-anak berseru kagum melihat cincin itu trmasuk Zi.
"Cincin ini bagus sekali. Kamu beli di mana cincin mainan kayak gini? Seperti aslinya," kata Zi memandang kagum cincin di jarinya.
"Itu memang cincin benaran. Bukan cincin palsu. Aku pinjam cincin mamaku sebentar," kata Joseph.
Senyuman anak-anak itu langsung memudar begitu melihat Nafiza datang membawa Furqon dan beberapa orang dewasa. Zi, Joseph, dan anak-anak lain langsung berlarian kabur. Tidak peduli hujan turun dengan derasnya dan membuat mereka basah kuyup.
Saat tengah berlari itu Zi tidak sengaja menjatuhkan cincin Mama Joseph yang kebesaran di jarinya. Cincin itu masuk lubang selokan. Susah payah Zi dan Joseph mengambil cincin itu, tapi gagal. Zi menangis berusaha lagi meraih cincin dengan batang kayu sampai tangannya memerah. Sebenarnya Joseph ketakutan setengah mati, tapi karena tidak mau melihat Zi tambah menangis, ia pura-pura tertawa saja.
"Kamu sih pakai cincin benaran! Gimana ini? Nanti kita dimarahi mamamu ...." Zi sudah semakin ketakutan.
"Tenang. Mamaku nggak galak. Paling aku yang dimarahi, bukan kamu," kata Joseph disertai cengiran.
Setelah satu jam gagal mengambil cincin dari selokan, mereka hanya duduk terdiam di bawah pohon. Tubuh keduanya basah. Mereka menahan dingin dengan melipat kedua kaki di dada. Akhirnya Furqon dan Aisha menemukan mereka. Kali ini mereka tidak kabur karena Furqon janji tidak akan marah. Mama dan Theo, kakak Joseph datang menyusul dengan cemas. Untung Furqon berhasil mengambil cincin itu dan menyerahkannya ke Mama Joseph.
"Maafkan adik kami, Bu Julia," kata Furqon sopan.
"Ah, nggak apa-apa, Furqon. Ini bukan salah Zieh. Anak-anak memang begitu, suka penasaran," sahut Mama Joseph menerima cincin itu.
Joseph diajak pulang begitu juga Zi. Keduanya dalam cengkeraman mama dan kakak mereka saling menoleh dan tersenyum.
"Nanti kalau aku udah menikah, aku ingin setiap hari makan ice cream, kue, main play station. Pokoknya menyenangkan!" seru Zi setelah ia dan Joseph menyaksikan akad pernikahan.
"Aku kalau udah menikah, istriku akan kubawa jalan-jalan setiap hari naik sepeda ke taman, aku ajak dia bernyanyi, lalu memberi makan burung-burung merpati, terus kami minum kopi," sahut Joseph.