Zi terbelongo memandangi bangunan rumah di depannya, sementara Ibrahim sedang membantu sopir mengeluarkan barang-barang Zi dari mobil. Rumah itu berkonsep minimalis, berlantai dua, tapi pada bagian samping kiri rumah didesain unik ala glass house. Bisa terlihat ruang santai yang diisi pot-pot tanaman hidup serta perabotan meja dan kursi kayu bergaya bohemian dari balik dinding kaca itu. Sedangkan di bagian depan ada balkon multifungsi yang dipenuhi aneka macam tanaman bunga. Sungguh rumah yang indah persis seperti yang diidamkan Zi.
Wow! Keren! Batin Zi.
Ibrahim tersenyum dan berdiri di samping Zi turut memandangi rumah bercat kombinasi peach dan putih. Lelaki itu pun mengajak Zi masuk ke rumah. Begitu memasuki rumah, mereka disambut dengan gemuruh suara air mancur pada kolam ikan di bagian serambi rumah. Zi lama memperhatikan kolam ikan koi itu sebelum berkeliling rumah.
Segala perabotan rumah tangga telah tertata dengan rapi, dari ruang depan, ruang makan, ruang kerja, dapur, kamar mandi, serta kamar termasuk kamar Zi dan Ibrahim. Wanita cantik itu dibuat terkesan sekali lagi melihat arsitektur kamarnya yang didesain dengan moroccan style, sedikit mirip dengan gaya bohemian, tapi kamar itu lebih detail dan berwarna. Menampilkan nuansa timur tengah yang kental, gaya ini mengombinasikan tiga elemen penting yakni detail, tekstur, dan geometri. Dekorasi gaya maroko juga dikenal dengan kesan kaya, mewah, dan eksotis. Ada karpet besar pola abstrak pada lantai, kursi berukir, cofee table dan meja samping kontras dengan tirai-tirai besar, sofa mewah, pouf atau bantal lantai. Dinding kamar pun diukir berbentuk pola berukir, dan ada lentera khas Maroko memancarkan bayangan menakjubkan di sekitar mereka digantung di langit-langit.
Semua unsur yang ada di kamar itu kurang lebih sama seperti yang terdapat di rumah Abi khususnya pada kamar Marzieh.
“Semoga kamu suka,” kata Ibrahim yang tiba-tiba sudah ada di sebelah Zi.
Zi agak kaget dan segera mengambil jarak dari Ibrahim. “Ya. Lumayan,” kata Zi.
Ibrahim tersenyum hangat. Tampak sekali kebahagiaan dalam dirinya. “Semoga di rumah ini kamu merasa nyaman dan nggak gampang sakit lagi. Aku cemas waktu kamu demam kayak waktu itu.” Ibrahim menatap lekat Zi. Masih terbayang jelas dalam benaknya ketika demam Zi tinggi ia mengigau menyebutkan sebuah nama. Nama yang berulang kali ia tulis di buku “The Adventure of JoZi”. Aisha yang masih berada di samping Zi berupaya menutup mulut Zi, tapi Ibrahim sudah telanjur mendengar nama itu terucap.
Zi memang sudah sembuh, namun suaranya memanggil-manggil nama seseorang itu terasa masih menggema di langit-langit kamar, menyusupkan rasa ngilu ke sendi-sendi, dan menyesakkan jantung Ibrahim.
“Hm ... kamarnya bagus,” ucap Zi kemudian menutupi rasa canggung. Lama ia memperhatikan meja kerja yang disediakan Ibrahim untuknya. Ada laptop dan benda-benda serba berwarna pastel, warna kesukaan Zi, tersusun di atas meja. Di samping meja itu juga ada rak berisi buku-buku novel dan lainnya. Beberapa adalah buku Zi dari rumah Abi yang dikirimkan Aisha. Zi meraih pulpen warna dengan hiasan bebek kuning di ujungnya. Zi menyukainya.
Rumah itu memang tidak begitu besar dibandingkan rumah keluarga Ibrahim maupun rumah Abi, tapi Zi merasakan kehangatan terpancar di setiap sudut rumah. Perasaan seperti berbaring dalam pelukan hangat di hari yang cerah sambil menghirup petrikor, menatap pelangi di langit, ditemani suara kicauan burung yang terbang ke pohon.
“Zi ....” panggil Ibrahim.
Zi menoleh dan memandang Ibrahim. “Apa?”
“Boleh kita bicara sekarang?”
Zi merasakan ada sesuatu yang tertahan dalam tatapan pria di dekatnya. Seperti mendung yang ingin meluapkan hujan dengan segera membasahi kekasih buminya.
***
Zi dan Ibrahim duduk berhadapan di ruang santai yang berdekatan dengan dapur dan bar kecil sambil menikmati segelas kopi. Zi menyesap kopi itu dalam diam. Kopi lebih ia rindukan daripada teh yang setiap hari menjadi sajian wajib di rumah Abi.
“Tentang pernikahan ini ....” Ibrahim tidak melanjutkan kata-katanya. Kelihatan sedang memikirkan sesuatu dalam pikiran.
Zi langsung meletakkan cangkir kopinya kembali ke meja. “Maaf, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa sama kamu. Aku nggak suka berbohong tentang perasaan. Dari awal aku nggak terlibat. Hanya ada Abi, Kak Furqon, dan ... kamu.” Zi memainkan cangkir kopinya tanpa menatap Ibrahim. “Seandainya kamu mengakhiri ini, aku atau siapa pun nggak akan menyalahkanmu.”
Ibrahim mengangguk. “Mungkin bagimu ini kesalahan. Maafkan juga kalau aku terdengar egois. Tapi aku ingin memberi kesempatan pada hubungan ini.”
Zi tersenyum dingin. “Akan sulit.”
“Aku mengerti. Kamu nggak mencintaiku. Itu intinya,” ucap Ibrahim.
Zi menatap Ibrahim tajam. “Benar. Dan aku nggak pernah kepikiran akan jadi korban tradisi keluargaku. Abi bukan pecinta budaya patriarki, tapi dalam hal ini aku merasa sebagai pihak yang tersakiti.”
Hening. Ibrahim menimbang-nimbang apa yang ingin ia katakan lagi.
“Apa kamu membenciku? Tolong jawab dengan jujur,” tanya Ibrahim.
“Aku bingung harus menjawab apa. Mungkin lebih tepatnya aku benci takdir ini.”