Wong wedok iku iso nduweni esem paling apik seko raine amergo telung perkoro. Siji pas prawan, pindho pas rabi, karo telu pas dadi emak. Roso sengit, iri, karo dendam ora iso nembus ati sik nduweni roso ikhlas.
(Wanita mempunyai tiga senyuman paling indah di wajahnya. Ketika gadis belia, menikah, dan menjadi ibu. Rasa benci, iri, dan dendam tidak akan bisa menembus hati yang ikhlas).
Wajah Umi perlahan menghilang.
"Zi, bangun. Ayo salat Subuh." Ibrahim mencubit-cubit pipi Zi pelan. Meskipun pelan, tapi Zi merasa kesal dan refleks menimpuk bantal ke wajah Ibrahim.
"Apa sih, Kak Aisha? Masih gelap. Sebentar lagi," ujar Zi masih memejamkan mata dan melanjutkan tidur.
Ibrahim mulai menggelitiki telapak kaki Zi sambil menirukan suara wanita. "Dek, ayo bangun. Rambutmu kena iler banyak, tuh. Mau Kakak gendong ke kamar mandi?"
Zi langsung tersentak begitu menyadari sesuatu. Ia bangkit duduk di ranjang dengan wajah linglung memandang sekeliling. Dia raba rambut panjangnya, masih indah dan wangi seperti biasa. Zi juga masih tetap Zi. Yang berbeda adalah ruangan di sekitar Zi. Ia bukan lagi ada di kamarnya di rumah Abi, melainkan di kamarnya dan Ibrahim, sang suami hasil "perjodohan buta" itu.
Zi mulai mendapat satu per satu kesadaran sementara Ibrahim berdiri di dekat ranjang sambil memandang Zi tajam. Pria itu sudah rapi memakai setelan pakaian putih dengan rambut basah, tampak baru selesai mandi. Kelihatan lebih tampan dari biasanya. Zi baru sadar apa yang dilakukan Ibrahim. Barusan laki-laki itu menyentuhnya. Ini sudah kedua kali setelah memegang tangannya di pelaminan.
Mata Zi mengerjap-ngerjap masih bingung. Rupanya tadi malam ia ketiduran di kamar itu ketika bermain bersama Tony Stark si kucing. Tidak sempat pindah ke kamar tamu di lantai dua. Dan tadi ... Apa itu? Tadi Ibrahim membangunkannya dengan cara yang tidak pernah ia duga.
"Ayo salat," ajak Ibrahim sekali lagi.
Karena Zi masih diam di tempat, Ibrahim berinisiatif menarik kaki Zi hingga merosot dari tempat tidur. Segera saja wanita itu berteriak.
"Ya, ya, ya, aku bisa sendiri!" Zi bangkit sambil menggerutu kesal. Zi berjalan sempoyongan menuju kamar mandi dengan lirikan kesal ke Ibrahim, sedangkan pria itu tersenyum, terasa semakin menyebalkan bagi Zi.
Zi masuk ke kamar mandi yang cukup luas dan membuka piama yang ia kenakan. Mencium sekilas. Sama sekali tidak ada bau iler. Zi menggerutu kesal ingat tingkah Ibrahim. Lalu piama itu ia masukkan ke mesin cuci. Menyalakan mesin untuk mencuci piama bersama pakaiannya lain yang ada di mesin. Pakaian yang ia pakai dari pertama menikah seperti gaun tidur, kaos, dan pakaian dalam. Dengan tubuh polos ia ruang mandi khusus.
"Cepat mandinya, kita mau pergi!" seru Ibrahim dari balik pintu kamar mandi.
Zi kaget dan langsung lari terbirit-birit menutupi tubuhnya yang polos dengan gorden.
"Ngapain sih kamu lari-lari di dalam? Nggak kelihatan juga dari sini," ujar Ibrahim, sadar apa yang ditakutkan Zi.
Zi tidak peduli, ia lebih khawatir kalau tiba-tiba Ibrahim masuk. Dengan susah payah dia melirik ke arah pintu, memastikan pintu itu terkunci dengan benar.
"Pergi ke mana?" tanya Zi lalu menghidupkan shower dan mulai membasuh tubuhnya. "Aku nggak mau."
"Kencan," sahut Ibrahim.
"Aku bilang nggak mau."
"Seharusnya sih mau karena aku mau mengajak kamu ke tempat yang bagus."
Zi terdiam sebentar. Tiba-tiba keran air hangat mati. Yang bisa hidup cuma keran air dingin. Zi mengotak-atik keran.
"Oh ya, aku lupa bilang kerannya macet. Belum diperbaiki," kata Ibrahim dari luar.
Zi mendengkus kesal. "Aku nggak bisa mandi air dingin pagi gini. Nggak tahan," kata Zi.
Lama tidak ada jawaban. Zi menunggu penasaran, lalu bersuara lagi, "Halo?"
"Ya udah, nanti aku perbaiki. Atau mau aku perbaiki sekarang?" tanya Ibrahim. Langsung terdengar suara derap langkah kaki pria berkulit kuning langsat itu menuju kamar mandi.
Zi panik dan kelabakan. Langsung menutupi tubuhnya lagi dengan gorden. "Nggak usah! Nggak usah! Nanti aja. Biar aku mandi pakai air ini nggak apa-apa!" seru Zi.
Beberapa menit kemudian dia selesai mandi. Bukan mandi yang nikmat karena ia buru-buru dan menggigil di bawah kucuran air seperti kucing kejebur. Ketika hendak keluar, baru Zi menyadari kebodohannya yang paling fatal. Segera dia tepuk dahinya dan kesakitan sendiri. Sial! Dia lupa membawa handuk. Kebiasaan jelek saat dia masih tinggal sendiri ataupun di rumah Abi. Biasanya ada Kak Aisha yang datang menyelamatkannya atau asisten rumah Abi.
Lama Zi berdiri di kamar mandi sambil merapatkan tangan kedinginan. Bingung harus berbuat apa.
"Zi? Kamu oke? Jangan bilang kamu mau pingsan kedinginan di dalam." Terdengar suara Ibrahim di dekat pintu kamar mandi.
Zi menghentakkan kaki kesal. Tidak punya pilihan lagi. "Bisa minta tolong ambilkan handuk? Aku lupa."
Sedetik kemudian Zi mendengar derai tawa dari arah luar. Berganti dengan suara langkah kaki Ibrahim menjauh pergi, lalu datang lagi. Bayangan sosok laki-laki itu terlihat di bagian kaca buram pintu kamar mandi.
"Ini handuknya," kata Ibrahim.
Zi terdiam larut dalam kebingungan. Jantungnya berdebar-debar seketika.
"Oi! Gimana caranya aku kasi handuk ini kalau pintunya nggak dibuka?"
"Taruh aja di depan pintu."
Zi tidak mau memberikan kesempatan pada Ibrahim. Ini jelas bukan perkara sekadar malu, lebih dari itu.
Ibrahim menurut dan meletakkan handuk di pintu. "Udah," katanya.
Zi mengintip bayangan Ibrahim di pintu. Tidak terlihat. Ia lalu melangkah pelan dan membuka pintu hati-hati. Sedikit saja ia buka pintu lalu meraba handuk di lantai dengan satu tangannya. Sama sekali tidak ada handuk. Zi merutuk kesal. Dasar pembohong!
"Ini handuknya." Terdengar suara Ibrahim yang berdiri di depan pintu kamar mandi sambil memegang handuk.
Zi kaget dan langsung menutup pintu dengan cepat sampai jarinya sedikit terjepit.
"Aduuuuh!" pekik Zi disusul berbagai kata-kata tidak pantas.
Ibrahim mengerutkan alis mendengar apa yang barusan keluar dari mulut Zi. "Oh, baik sekali. Kakakmu lupa cerita kalau kamu bisa nge-rap seperti Eminem. Handuknya kotor kalau ditaruh di lantai. Udah cepatan nanti Subuh lewat. Handuknya aku taruh di handel pintu. Aku tunggu di luar," kata Ibrahim. Ada penekanan di kalimat terakhirnya.
Zi masih memegang tangannya yang sakit. Lalu perlahan membuka pintu, mengintip ke luar, tidak ada siapa pun. Secepat kilat ia mengambil handuk di hendel dan memakainya.