Aurat

Delly Purnama Sari
Chapter #14

Chapter 14. Bunga Liar

Di dalam mobil saat di perjalanan pulang, Zi memperhatikan seikat bunga liar yang ada di tangannya. Bunga itu putih bersih berbentuk seperti bola kapas dengan rambut-rambut halus. Mempunyai harum yang berbeda dengan bunga yang lain. Bunga itu yang tadi ia petik bersama Ibrahim di taman. Ibrahim mengumpulkan yang berwarna pink, Zi yang putih. Tempatnya tumbuh agak tersendiri, batangnya begitu kuat dan agak sulit dipetik.

Zi masih belum diberitahu untuk siapa bunga itu akan diberikan. Ia terlalu sibuk mengagumi si bunga liar. Unik dan tidak kalah indah dari bunga-bunga lain.

Ibrahim tersenyum melirik Zi di sebelahnya. “Bunga itu mengingatkanmu sama sesuatu?”

Zi menggeleng. Cukup lama baru ia paham apa maksud Ibrahim. Ia tidak membahas itu karena merasa mengantuk. Zi ingin tidur sebentar. Dari kelopak matanya yang mulai berat, ia memandang Ibrahim yang sedang berkutat dengan handphone. Ia tidak mencintai Ibrahim, tapi sejauh ini lelaki itu memperlakukannya dengan baik. Dan kencan hari ini di luar bayangan Zi. Tempat yang mereka kunjungi tadi begitu indah. Suasana desa dan taman bunga seolah terekam di benak Zi dan diputar-putar terus.

Zi tersenyum dalam kondisi hampir terlelap. Tiba-tiba terbayang lagi kejadian sebelum mereka meninggalkan kebun dan beristirahat sebentar di serambi rumah Mbah Kakung dan Mbak Putri. Zi sempat melihat kerumunan bebek berbaris dan hendak memberikan remahan roti.

“Bebek! Sini!” seru Zi ceria sambil mendekati kerumunan bebek.

Ibrahim baru keluar dari rumah sambil membawa dua cangkir kopi langsung kaget melihat Zi berjalan menuju sungai untuk mendekati bebek. Sontak ia letakkan kopi di meja dan berlari menyusul Zi.

“Zi, jangan! Nanti kamu dipatuk!” teriak Ibrahim.

Zi mengerutkan alis heran. “Apanya dipatuk? Bebek nggak matuk.” Zi tetap mendekat ke bebek-bebek besar berbulu cokelat itu. Namun, tiba-tiba bebek-bebek itu berbalik arah dan berlari ke arah Zi sambil berbunyi nyaring. Sayap binatang-binatang itu terentang lebar dengan leher panjang berparuh runcing disosorkan ke depan, sangat galak dan bersiap menyerang Zi.

“Aaaaargh!” Zi panik dan lari ketakutan. Para bebek mengejarnya brutal.

“Husssh!” Ibrahim menarik Zi dan berusaha mengusir para bebek, tapi binatang-binatang itu telanjur merasa terancam dan malah semakin sengit mengejar Zi dan Ibrahim.

“Huaaaaa! Kabuuur!” seru Ibrahim takut dan lari terbirit-birit bersama Zi.

Satu ekor bebek yang paling ganas terbang ke arah kepala Zi dan Ibrahim, siap mematuk. Zi dan Ibrahim berteriak. Untung saja dengan gesit Ibrahim menarik Zi untuk merunduk tiarap bersamanya. Namun Zi tersandung ujung celananya sendiri dan jatuh menimpa tubuh Ibrahim.

Keduanya bangkit sambil kesakitan memegang pinggang dan bagian tubuh lain yang terasa sakit. Meskipun sudah berhasil lolos dari patukan bebek, tapi Zi merasa keseleo, begitu juga Ibrahim karena saat Zi menimpanya tadi, mereka sempat berguling tak karuan.

“Aduuh ... kok bisa gini sih? Bebeknya kok ganas?” keluh Zi masih kesakitan.

Ibrahim lalu menunjuk ke arah sungai di mana bebek-bebek tadi sudah berjalan ke sana dan berenang satu per satu. Bang! Warna bulu mereka yang tadinya cokelat luntur, berganti dengan putih.

“Itu bukan bebek! Angsa tahu! Angsa yang galak,” kata Ibrahim. “Mereka main di lumpur makanya bulunya jadi cokelat.”

Zi terbelongo. Beberapa detik kemudian senyuman muncul di wajah cantiknya disusul dengan derai tawa. Ia terus menertawakan kekonyolannya tadi, sementara Ibrahim memperhatikan Zi. Melihat Zi tersenyum dan tertawa untuk pertama kali adalah hadiah terindah hari ini.

Kini Ibrahim juga tersenyum mengingat kejadian itu sambil melirik Zi yang tertidur di sebelahnya. Dengan hati-hati ia membetulkan posisi bantal di kepala Zi.

***

Zi dibangunkan oleh Ibrahim tepat ketika mobil berhenti di depan rumah keluarga Ibrahim. Perlahan sopir memarkirkan mobil di halaman luas rumah besar itu. Zi merasakan kekalutan seketika menyelimutinya.

“Kenapa kita ke sini?” tanya Zi dengan ekspresi seolah diajak ke replika neraka.

“Memang ke sini tujuan kita,” jawab Ibrahim santai.

“Aku ....” Zi meremas jarinya sendiri.

“Kita cuma sebentar kok. Lagipula ini rumah orang tuaku, orang tua kamu juga. Ayo turun, Zi,” ajak Ibrahim yang lebih dulu turun. Zi kemudian mengikuti langkah Ibrahim. Mereka masuk ke rumah tersebut.

Setelah beramah tamah sebentar dengan anggota keluarga, Ibrahim mengajak Zi ke sebuah kamar. Zi tampak ragu, tapi Ibrahim menangkap tangannya dengan cepat dan menariknya masuk ke kamar.

“Ibrahim ... jangan begini ... aku ....” Zi gemetaran, tapi tidak sanggup melawan tenaga Ibrahim yang sudah berhasil menariknya masuk ke sebuah kamar.

“Apa sih? Kamu kenapa? Aku cuma mau ngajak kamu nemui Makcik,” kata Ibrahim sambil menunjuk ke arah ranjang di kamar itu. Di sana Zi melihat seorang wanita sedang berbaring, tapi tidak sedang tidur. Matanya terbuka dan memandang ke arah Zi dan Ibrahim.

Tubuhnya teramat kurus hingga tulang pipinya terlihat jelas, rambutnya sangat panjang hingga terjurai ke lantai, kedua matanya tampak sangat besar saking kurusnya. Wanita itu berusaha tersenyum yang menjadi sebuah seringaian agak menakutkan.

Lihat selengkapnya