Setelah satu jam terbaring di lantai dan tertidur di sana, Zi dibangunkan oleh Mbak asisten rumah yang cemas. Wanita itu sempat mengira Zi sakit dan pingsan. Namun, bukannya beristirahat di kamar, Zi malah langsung berlari keluar. Pada sopir ia minta diantarkan ke rumah Abi setelah mengirim pesan ke Ibrahim.
Begitu sampai di depan rumah Abi, Zi meminta sopir pergi. Sopir itu bingung, tapi Zi tetap menyuruhnya pergi dan datang lagi begitu Zi ingin dijemput. Tentu saja sopir itu menurut meski sudah beberapa kali bertanya kepada Zi untuk memastikan. Pria itu tahu Zi sedang kalut dan uring-uringan.
Zi tidak masuk ke rumah Abi, melainkan berdiri di depan rumah Joseph. Memang ke situlah tujuannya. Detik-detik yang terjadi setelah itu meluluhlantakkan perasaan Zi. Di depan mata kepalanya ia melihat Joseph yang memakai tuxedo pengantin baru turun dari mobil iringan pengantin. Ia lalu menggandeng wanita cantik bernama Sybill. Wanita itu juga yang menemani Joseph saat menjalankan misi keagamaan di Kalimantan.
Sybill sangat cantik mengenakan gaun pengantin putih. Sederhana, tapi begitu elegan. Sebuah gaun panjang, tidak mengembang, tapi desainnya begitu indah dan halus, lengkap dengan tudung putih panjang di kepalanya. Terlihat persis seperti peri di cerita dongeng.
Ketika pasangan pengantin itu berjalan saling bersisian, irama biola dimainkan dengan merdu. Langit seolah tersenyum, lalu mendung membungkus kesedihan, menjauhkannya dari hati yang sedang berbahagia.
Air mata Zi mengalir tanpa bisa ditahan. Joseph, sahabatnya, pahlawannya, kekasihnya, telah dimiliki wanita lain. Pernikahan adalah sesuatu yang besar pengaruhnya bagi dua sahabat atau dua kekasih. Itu berarti batas dan jarak yang tidak dapat dilanggar lagi.
Seperti inikah perasaan Joseph saat Zi menikah dengan Ibrahim? Hati Zi mulai bertanya-tanya. Sekarang ia tahu bagaimana rasa sakitnya. Lembaran kisah di antara ia dan Joseph telah usai. Mereka telah berada dalam dunia masing-masing yang akan tertulis dalam buku-buku yang lain.
Begitu Joseph dan pengantinnya memasuki rumah diikuti para anggota keluarga, Zi merasakan ada yang hampa dalam dirinya. Namun rasa hampa itu datang bersamaan dengan kelegaan. Setidaknya mereka impas. Selama ini Zi selalu merasa bersalah pada Joseph. Kesedihan tak tertanggung itu menjadi beban seribu kali lipat membayangkan orang yang disayangi menderita.
Pintu rumah Joseph sudah tertutup. Tidak ada satu orang pun yang terlihat lagi di luar. Hanya suara gelak tawa kebahagiaan terdengar dari dalam.
Zi pun melangkahkan kakinya yang lemas ke arah lain. Bukan ke rumah Abi. Sekilas ia melihat ke arah rumah Abi. Ada Nafiza dan suaminya. Mereka sedang membereskan barang-barang Nafiza, memasukkan satu per satu koper ke dalam bagasi mobil. Wajah keduanya semringah. Anak mereka digendong oleh ayahnya dengan hangat. Zi tersenyum. Ada kebahagiaan lain yang terjadi.
***
Satu jam dihabiskan Zi duduk melamun di taman. Taman tempat ia biasa bermain dengan Joseph selama bertahun-tahun. Tempat itu masih sama. Ramai dengan anak-anak bermain. Beberapa orang tua juga datang ke sana untuk mengajak anak bermain sambil disuapi makan.
Pandangan Zi cukup lama tersita pada seorang anak perempuan kecil kisaran usia enam tahun sedang bermain sepeda yang dipasangi roda bantu. Anak itu memakai jilbab merah yang senada dengan bajunya. Mungil dan menggemaskan. Beberapa kali dia hampir menabrak ibunya yang sedang menyuapi adik bayinya.
Lalu tiba-tiba saja peristiwa itu terjadi. Sangat cepat dan tidak terelakkan. Sang anak perempuan secara tidak terduga melajukan sepeda ke arah jalan dan langsung disambar mobil yang lewat. Anak kecil terpental ke jalanan. Sepedanya hancur tak karuan. Semua orang berteriak histeris termasuk Zi yang langsung berlari ke jalan.
Bersama warga yang lain, Zi berusaha menolong sang anak. Anak yang terbaring lemah di jalanan itu mengalami luka di tangan dan kepalanya. Darah keluar dari kepalanya yang kini tidak berhijab. Kain penutup kepala itu robek akibat kecelakaan barusan. Sang ibu berteriak dan menggendong anaknya dibantu yang lain.
Dengan buru-buru sang ibu ingin membawa anaknya ke rumah sakit. Namun tidak disangka anaknya masih sadar dan berkata dengan suara lemah, “Bu, mana jilbabku? Pakai jilbabku, Bu. Nanti Allah tidak suka,” ucap bibir mungil itu dengan mata sedikit terpejam.