Beberapa bulan kemudian
Zi dan Ibrahim berdiri di depan pintu kamar Furqon dan Alisha di rumah Abi. Bukan sengaja ingin mendengar pembicaraan sepasang suami istri itu, tapi mereka hanya ingin bertemu untuk memberikan hadiah kepada bayi mereka. Sudah lama Zi dan Ibrahim menunggu mereka di acara aqiqah itu.
"Kenapa Mas belum bisa lupain perempuan itu? Mas udah punya saya, istri Mas, udah punya anak ini juga," ujar Alisha yang disertai isak tangis dari dalam kamar yang bisa didengar oleh Zi dan Ibrahim.
"Udah. Nggak perlu dibahas lagi. Kamu jangan nangis. Nggak enak kalau ada yang dengar," kata Furqon.
"Biar aja, Mas! Biar semua tahu kalau Mas masih harapin perempuan Mesir itu!"
"Alisha! Udah berapa kali Mas bilang Mas nggak ada apa-apa lagi sama dia! Cuma karena kamu dapet foto lama itu di buku Mas bukan berarti Mas ada macam-macam."
"Tapi kenapa Mas marah waktu aku kau bakar fotonya?"
"Astaghfirullah. Dibahas terus ya? Nggak capek apa kamu? Mas bosan ributin ini mulu."
Zi dan Ibrahim saling memandang. Sama-sama bingung. Namun Ibrahim lah yang paling terlihat segan. Rasanya tidak enak mendengar permasalahan kakak ipar sendiri di depan istri. Untung saja Zi berinisiatif mengetuk pintu. Seketika pertengkaran di dalam kamar terhenti. Zi dan Ibrahim masuk setelah mengucap salam.
"Maaf, mengganggu, Kak," kata Zi sungkan.
Alisha cepat-cepat menyeka air matanya lalu berusaha menenangkan bayinya yang menangis.
"Zieh, Ibrahim, kapan datang?" Furqon tersenyum dan langsung memeluk Ibrahim.
"Udah dari tadi. Tapi kalian nggak ada di bawah," jawab Zi.
Zi lalu mendekati Alisha dan tersenyum pada bayi mungil yang digendong Alisha. "Selamat ya, Kak. Semoga anak kalian jadi anak yang saleh dan berbakti sama orang tua," kata Zi seraya meletakkan beberapa keping dinar ke atas tubuh bayi kecil itu.
Alisha tersenyum canggung ke Zi. "Makasih, Zi."