Sekilas saat dipandang dari luar, tampak layak dengan permukaan mulus. Namun ketika memasukinya, akan tampak karat di setiap langkah yang dijejakkan. Celah bagi cahaya yang masuk dapat dilihat diberbagai sisi atap.
Semilir angin yang berebut menyusup melalui celah- celah jendela, tak dapat menggantikan hawa panas yang telah menetap. Berdesakan tanpa mengizinkan jarak hadir disetiap badan yang menempel. Bau mesin dan aroma oli yang menyeruak, membuat pening setiap penghuninya. Tak jarang penumpang membagi keringat dan aroma yang beragam didalamnya.
Dengan seragam putih abu, Mika menjadi bagian dari tumpukan orang yang berdesakan tanpa jarak. Setelah ini Mika tak akan pernah berfikir untuk menaiki Metromini biru oranye ini lagi. Biarlah menjadi pengalaman pertama sekaligus yang terakhir. Mika sungguh kesal.
Jika para penumpang lainnya, memperhatikan wajah Mika saat ini. Mereka pasti akan tertawa, bagaimana tidak? Wajah Mika begitu pucat ketika menahan mual dengan mulutnya yang komat kamit memanjatkan doa.
Pemandangan bangunan kota yang menjulang langit, tumpukan kendaraan yang berebut untuk menempati barisan terdepan, kelokan demi kelokan. Mika berhasil menahan dirinya hingga sampai pada bangunan putih coklat yang dihiasi gerbang bertuliskan SMA Dirgantara.
Segera setelah Mika merasa doanya terkabul, ia bergegas keluar mencari pasokan udara segar. “Ini bang uangnya, makasih ya...” Saat Mika merasa terbebas, buru- buru ia melangkah seribu menuju bangunan didepannya. Saat ini tujuan Mika hanya satu, toilet.
Banyak pasang mata menatapnya bingung, namun tak Mika hiraukan, tetap saja ia berlari sekencangnya.
“Mikaaaa, lo mau –“ Suara menggelegar itu pun mengilang bersamaan dengan jarak antara Mika dan Sang empunya yang kian melebar.