Authoritarian Man and Me

Defa Riya
Chapter #2

2. Maaf, aku—

Satu minggu berlalu tanpa terasa. Hari ini, tepatnya tanggal 31 Maret 2020 aku memulai perjalanan ke Kota A untuk menghadiri pelatihan kepenulisan di sana.

Setelah memastikan persiapan keperluan sehari-hari dan membersihkan diri, aku menyeret koperku ke tempat pemberhentian bus di desaku.

Aku tinggal di sebuah desa di Kabupaten G yang berbatasan langsung dengan kabupaten lainnya. Sementara itu, Kabupaten G merupakan tempat yang terhimpit dua gunung kapur di sisi utara dan selatan.

Desa Jati Agung, desa tempatku lahir dan dibesarkan terletak di gunung kapur bagian utara. Hal ini membuatnya terkenal akan pemandangannya yang eksotis.

Hari masih pagi hari ketika aku mencapai pemberhentian bus. Merekatkan jaket denim kebesaran yang aku pakai, aku meletakkan koper di sisi kiri saat aku duduk di kursi bambu di sisi jalan. Menyalakan ponsel, aku membuka aplikasi membaca online untuk mengusir kejenuhan dari menunggu bus yang datang setiap lima belas menit sekali.

Beruntung aku berangkat cukup pagi hari ini. Karena tidak sampai sepuluh menit kemudian, aku melihat bus ke pusat kota Kabupaten G telah melaju ke arah pemberhentian bus ini.

Aku melambaikan tangan ketika bus itu mendekat, yang bisa diartikan sebagai gestur untuk menyetop kendaraan.

Benar saja, ketika bus itu semakin dekat dengan posisiku, aku bisa mendengar kernet bus mengetuk-ketuk uang koin di lempengan besi di pintu masuk bus yang terbuka.

"Ayo, Mbak! Biar tak bantu." Kernet bus itu dengan ramah mengajukan diri untuk membantuku menaikkan koper.

Aku mengangguk dengan senyum ramah di bibirku sebagai balasan.

"Matursuwun," ujarku berterimakasih setelah aku mendapatkan tempat duduk.

Bus ke kota cukup sepi hari ini. Mungkin karena ini masih cukup pagi untuk beraktivitas? Atau malah karena dampak dari nyaris setiap warga di desa ini memiliki roda dua sebagai kendaraan pribadi?

Aku mengangguk pada pertanyaanku sendiri.

Menyalakan ponsel, aku membuka aplikasi sosial media lalu menggulir layar ponsel ke atas dan ke bawah tanpa tujuan pasti. Mungkin untuk membaca cuitan penghuni dunia maya? Atau sekedar menggulirkan untuk menghilangkan kebosanan? Tapi, aku yakin kalian pernah melakukan kegiatan tidak bermanfaat yang sering kalian sebut unfaedah ini, bukan?

Kegiatan itu terhenti ketika kernet bus menghampiriku untuk menarik ongkos perjalanan.

"Arep neng ngendi, Mbak?"

Aku mengulas senyum samar mendengar pertanyaan kernet bus berusia paruh baya itu. "Ke terminal. Pinten nggeh?" jawabku sekaligus mengajukan pertanyaan mengenai ongkos yang harus aku bayarkan.

"Gangsal ewu, Mbak."

Aku mengangguk mendengar jawaban kernet Bus.

Mengeluarkan uang pecahan lima ribuan dari dalam tas, aku menyerahkan uang itu ke tangan kernet bus lalu kembali menunduk untuk berselencar di dunia maya.

Perjalanan dari desa ke kota memakan waktu kurang lebih dua 25menit. Karena itu, ketika aku tiba di terminal bus, suasana di sana cukup ramai dengan lalu lalang manusia.

Lihat selengkapnya