Autumn In Your Heart

Some Landry
Chapter #3

Bangunan Tua Menggapai Awan

Tiga hari telah berlalu setelah pertemuan singkat kami, kami bahkan sama sekali tidak saling menyapa dan melihat satu sama lain. Tetapi aku ingat semua berubah pada hari keempat, aku terbangun agak siang dan menyebabkan keterlambatan mengikuti snorkling yang dilakukan anak-anak yang dimulai pagi ini. Perut yang lapar dan tenggorokan yang haus membuatku mengangkat badanku dengan terpaksa menuju dapur dilantai satu, setelah berada diujung tangga aku melihat seorang wanita berada diberanda depan dengan rambut coklat bergelombang dikuncit asal dengan kuas ditangannya.

Sadar akan keberadaanku dia menoleh kearahku, kami tersenyum dengan canggung dan mengganguk sebagai tanda menyapa. Aku menuju kulkas, mengambil air dingin dan mengigit roti bakar berselai nanas diatas meja. Sejenak diujung tangga saat aku berniat kembali kekamar melanjutkan rutinitasku, tiba-tiba perhatianku teralihkan kepunggungnya yang bermotif bunga-bunga berwarna kecoklatan. Entah apa yang merasukiku sehingga aku berani berjalan kearahnya untuk melihat lukisannya dengan penasaran apa yang ada disana, saatku berada dibelakangnya kudapat melihat birunya lautan dengan kapal kecil tepat mirip dengan apa yang menjulang didepan sana.

“Em,.” Gumamku.

 Aku masih ingat ekspersi kagetnya yang manis diperlihatkan atas gumamanku.

“Apakah seburuk itu?” Tanyanya ragu.

“Enggak. Cantik” Jawabku kaku, setelah aku pikir soal itu, aku tidak tahu yang kumaksud itu kamu atau lukisanmu. Aku masih bingung hingga sekarang.

Dia tersenyum atas pujianku yang tidak berarti itu, dengan ibunya yang seorang pelukis tidak mungkin dirinya menghasilkan lukisan seperti anak sd. Lagi pula ini pasti bukanlah pujian pertamanya, bukan? Tetapi mengapa aku merasa kalau dia sedang malu.

Aku mengalihkan pandanganku dari wajahnya yang tersipu cantik dengan poni-poni tipis dikeningnya, aku kembali keatas menuju kamarku untuk mandi dan berganti baju. Tiba-tiba ada yang ingin aku lakukan semenjak kehadiranku di villa ini dan sepertinya, inilah saatnya aku melakukannya tanpa pacar yang bergelayut manja dan tanpa keberisikan teman-teman yang tidak ada akhirnya.

Sekitar 30 menit aku kembali keruang tamu, aku memakai jaket yang menutupi kaus putih ku dan celana jeans pendek agar tetap nyaman atas apa yang akan aku lakukan nanti. Lalu aku memutuskan untuk berpamitan dengannya yang sudah merapihkan alat-alat melukisnya.

“Kakak mau kemana?” tanyanya menghentikan langkahku.

“Pergi sebentar.” Jawabku sembari menunjuk arah tujuanku.

“Bisa kakak mengajakku juga? Aku sedang bebas dan sedikit bosan sekarang.” Katanya sembari mengurai rambutnya yang terkuncit tadi.

“Memang boleh sama Bram?” Tanyaku khawatir, bukan padanya tetapi aku tidak mau saat pulang nanti aku malah disemprot oleh kakaknya. Dia pasti tahu betapa cerewetnya kakaknya itu.

Lihat selengkapnya