Saat makan malam, kami berdua sama sekali tidak berkata apapun. Tidak ada yang memulai pembicaraan tentang kepergian kami berdua siang ini baik aku ataupun dia. Kami diam seribu bahasa seakan-akan itu adalah sebuah tindakan kriminal sehingga orang lain tidak perlu tahu apa yang terjadi diantara kami di mercusuar itu.
Kami pulang sore hari tepat sebelum rombongan snorkling datang, kami tidak berkata sepatah katapun, bahkan kami berpisah dengan cara yang canggung dan hanya mengangguk untuk mengatakan salam. Aku tahu apa yang kurasakan saat itu, itu adalah sebuah pengelakan hati bahwa tidak mungkin aku menyukainya. Aku tidak mungkin mengkhianati hati temanku dan Alexa hanya untuk seseorang yang baru kulihat empat hari yang lalu. Aku pasti sudah gila. Ya aku benar-benar berfikir aku sudah gila dan harus menghentikan kegilaan ini.
Aku tidak sama sekali berniat mengikuti makan malam ini, aku lelah dan Alexa merengek untuk menemaninya makan dan aku malas memulai pertengkaran kembali. Aku duduk tepat didepan Brahm dengan dia disampingnya. Untuk pertama kalinya aku merasa tempelan kepala Alexa membuatku risih dan tidak nyaman. Entah karena ada dia disana atau karena itu menggangguku makan, keduanya mungkin benar.
Aku tidak tahu apakah kalian pernah merasakannya saat keinginan otak dan hati kita yang berbeda. Dalam logika aku tidak mau menatapnya dan memperhatikannya tetapi hatiku memiliki keinginan yang berlawanan. Aku ingin melihatnya. Aku kalah, selalu kalah dalam pergulatan batin dan logikaku. Dia tampak masih pucat dalam balutan dress tanpa lengan berwarna coral dengan rambut dikuncir setengah dan setengahnya lagi dibiarkan tergerai memperlihatkan pundaknya yang indah. Aku tahu dia sangat suka mengatur rambutnya seperti itu dan aku juga suka dia mengatur rambutnya seperti itu.
Sekarangpun aku masih berfikir bahwa mungkin aku hanya suka segala yang dia lakukan.