Sambil mendengarkan musik, aku terbaring santai di gazebo. Cuaca sangat bagus untuk berjemur walaupun aku sudah memiliki kulit putih sejak lahir, dengan tinggi 175 cm aku memiliki darah campuran dari ibuku yang berdarah jawa dan ayahku yang berdarah Belanda. Aku tidak pandai bergaul, dengan wajah yang kata teman-temanku disia-siakan, akupun tidak pernah terlibat cinta dengan wanita lain selain dengan Alexa yang sudah menjadi temanku terlebih dahulu kurang lebih tiga tahun lalu.
Aku tidak pernah tertarik dengan hal seperti itu dikarenakan aku tidak mempunyai banyak waktu luang untuk berkencan dengan wanita. Hidupku sulit saat itu. Aku harus membiayai kuliahku sendiri semenjak ayahku meninggal dunia karena kecelakaan dan uang tunjangannya tidak akan mencukupi kebutuhan ibuku yang hanya membuka warung makan kecil-kecilan dan adik perempuanku yang masih bersekolah di menengah pertama
Aku mengantar koran dan susu keapartemen sekitar kompleksku pada pagi hari, siang hari setelah berkuliah aku bekerja di pom bensin disalah satu kenalan lama alm. ayahku dan malam harinya aku bekerja sebagai barista disalah satu cafe dipusat kota Yogyakarta.
Aku mengambil fakultas Bahasa dan Sastra disalah satu Fakultas di Yogyakarta dan mendapatkan beasiswa selama tiga tahun atas prestasi menulisku diberbagai lomba. Kami berlima satu Universitas tetapi berbeda fakultas. Sulit menggambarkan bagaimana kami bisa bertemu dan menjadi teman, aku hanya bisa menggambarkan pada saat itu aku hanya menolong Alexa yang dikerjai pada saat Orientasi Studi dan Pengenalan (OSPEK), Brahma yang tiba-tiba datang membantu kami karena kasihan, Atel si Gendut yang datang dikarenakan menghindari jahilan kakak tingkat lainnya dan Bastian si kakak tingkat yang sedang mengerjai Atel. Hanya itu yang bisa kujelaskan tentang pertemuan kami. Berkat Brahma yang merupakan anak dari investor Universitas kami, aku tidak perlu lagi mengantar susu dan koran dipagi hari dikarenkan aku disarankan olehnya untuk bekerja sebagai asisten dosen kami yang memiliki tabiat tidak pernah membuat apapun saat sedang kuliah.
Aku melihat anak-anak yang bermain dipantai, Atel yang berenang dengan pelampung bebeknya jelas membuatku tersenyum kecut. Alexa yang sedang diganggu oleh Brahma dan Bastian yang sedang berusaha memecahkan pelampung bebek milik Atel secara diam-diam dibelakangnya tapi tidak kunjung membuahkan hasil. Perhatianku teralihkan kepada wanita yang berdiri dipinggir pantai sambil tertawa lepas atas pelampung bebek yang dinaiki oleh seekor gajah. Tidak perlu aku menjabarkan bagaimana dia, dia hanya selalu cantik bahkan dengan topi pantai yang menutup wajahnya dengan rambut terkelabang disisi pundaknya.
Aku sudah tidak perduli lagi, perasaanku sudah final kepadanya dan aku menerima itu semua bahkan dengan resiko banyaknya orang yang akan sakit hati oleh itu. Aku akan mendekatinya dan mendapatkannya. Memang aku belum pernah bertemu tunangannya, tapi aku yakin bahwa aku tidak kalah dalam segi penampilan dengannya. Sedangkan kakaknya, dia mengatakan bahwa dia menyayanginya, bila adiknya menyukaiku, sebagai kakaknya dia harus menerima itu mau tidak mau bukan, sedangkan Alexa, akan kupikirkan bagaimana cara memberitahunya dan putus secara baik-baik olehnya. Hanya saja aku tidak tahu harus memulainya darimana.
Saat aku sedang berfikir soal cara mendekatinya, bola pantai mengenai kepalaku dengan keras dan seseorang menghampiriku. Dia terdiam dihadapanku, dengan raut yang khawatir tapi tidak bisa berkata-kata aku tahu dia sedang bertanya-tanya apakah kepalaku baik-baik saja.
“Sakit sangat. Sungguh. Siapa yang melempar?” tanyaku.mengusap kepalaku.
“Bang Bas.” Katanya sambil menerima bola yang kuberikan.
“Nesyaaaaaaaaaaa… ohhh…. Nesyaaaaa….. mana bola abanggg…….???” Teriak tengkorak kecoklatan didalam air.
Nesya berbalik bergegas ingin berlari kearah bibir pantai tapi aku menghalanginya dengan merebut bola ditangannya.
“Anak gila itu.” Kataku sambil melempar bola jauh jauh kearah tengkorak itu tapi malah mengenai pelampung bebek disebelahnya dan bebek mulai tenggelam.