Aku melihatmu diantara rintikan hujan yang membasahi hatiku.
Hujan meninggalkan rintikan kenangan saat mata kami saling bertemu. Dari jarak yang hanya terbentang sepuluh meter diantara kami, aku dapat melihat senyum indahnya dan lambaian tangannya kepadaku, tetapi aku yang bodoh masih saja terpaku tidak mempercayai akan takdir kami yang masih bisa bertemu dengan cara yang seperti ini.
Dia memandangku, tersenyum kepadaku, dan mulai berlari kearahku. Jangan, kumohon jangan berlari kearahku. Mengapa bukan aku yang menghampirimu? Memelukmu dan mengucapkan terima kasih telah berusaha keras untuk bernafas selama ini dan maaf butuh waktu selama ini untuk aku menepati janjiku menemuimu. Tetapi kata-kata itu tersangkut di tenggoorokanku dan tidak pernah terucap bahkan saat dia sudah berada didalam jangkauanku. Alih-alih memeluknya, aku hanya bisa mengulurkan tanganku padanya. Dia yang berlari menggunakan sepatu flat berwarna biru, menerima uluran tanganku dan aku yang tanpa sadar menariknya agar terlindung dari hujan yang tiba-tiba mulai mengamuk. Rupanya semesta membantuku agar aku bisa lebih lama bersamanya.
Dari dekat aku dapat mencium bau wangi lavender darinya, rambutnya yang lembab dikarenakan air hujan, dan tangan kecil memegang tas berisi alat-alat lukisnya membuatku jatuh cinta untuk kedua kalinya.
“Benar-benar suatu keberuntungan kita bertemu seperti ini.” Dia tertawa.
Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepadanya.