Kurang lebih setengah jam kami berjalan menuju rumahku, saat berada dihalamanku, aku sedang berfikir apa alasan yang tepat untuk ibu dan adikku terhadap paket yang sedang kubawa ini.
“Bilang saja aku sedang dititipkan secara paksa oleh teman kakak.” Katanya seperti sedang membaca pikiranku.
Enak sekali dia berbicara, dia tidak tahu membawa seorang wanita diwaktu seperti ini kerumah adalah suatu hal yang tabu? Atau aku sendiri yang merasa seperti itu?
Aku membuka pintu rumah dan memberi salam kepada penghuni rumah. Aku masuk dengan diikuti dia dibelakangku, dapat kurasakan tatapan heran ibuku dan tatapan kurang ajar dari adik bungsuku yang sedang menonton tv. Pelipisku mulai berdenyut. Aku memperkenalkan Nesya kepada ibu dan adikku sebagai anak yang dititipkan paksa oleh kakaknya dan berbeda dari respon yang kutakutkan, ibuku dengan ramah menyambutnya dan meminta maaf atas perlakuan tidak pantasnya tadi.
“Maklum nak, Alva gak pernah bawa temen perempuan kerumah. Maghrib- maghrib lagi. Hahahhaha ayo duduk jangan berdiri aja.”
Ibuku memperkenalkan adikku padanya, dapatku lihat bagaimana visi dan misi Adinda berubah setelah sepuluh menit mengenal Nesya, mereka mengobrol dengan akrab mengorek sesuatu yang bisa mereka dapat tentangku. Aku izin kekamar terlebih dahulu untuk mandi dan sholat yang tidak ditanggapi oleh dua wanita yang sudah teralihkan perhatiannya oleh wanita yang baru saja datang tersebut.
Setelah tiga puluh menit aku melakukan rutinitasku, aku keluar kamar dan menuju dapur dimana ibuku sedang menyiapkan makanan. Masih kuingat bagaimana dua wanita beda generasi itu tertawa atas obrolan mereka dan tidak mengetahui keberadaanku yang sudah duduk dimeja makan melihat mereka berdua.
“Sejak kapan kakak ada disitu?” Tanyanya menaruh beberapa piring diatas meja.
“Sejak tadi. Saat kalian mengobrolkan aku yang tidak bisa membuka kaleng sarden.”
Dia hanya tersenyum atas responku, dan aku mulai memanggil Adinda.
“Pinjamkan kamarmu sebentar untuk Nesya.” Kataku.
“Untuk apa?” Jawab Nesya dan Adinda berbarengan.
“Masih ada waktu dua jam untuk kamu beristirahat, biar aku yang bantu ibu.”
“Gak perlu kak.” Katanya dengan raut wajah memelas.
“Jangan ngeyel, Nes. Istirahatlah sebentar. Dek? Ayo jalan.”
“Gak bisa.” Kata Adinda tiba-tiba.
“Apanya?” Aku bingung.
“Gak bisa pake kamarku mas, kamarku berantakan.”
“Beresin sebentar napa?” aku menuju kekamar adik bungsuku itu. Astaga, ini kamar manusiakan? Aku benar-benar melihat kekacauan disana, bagaikan ruangan yang tidak dipakai bertahun-tahun.
“MAS AL…!!! Jangan pokoknya.” Jawab Adinda malu dan entah mengapa sidak dadakan itu membuatku malu juga.
“Kalau gitu dikamar ibu aja.”
“Boleh aja, tapi apa nak Nesya kuat nyium bau balsam gitu.” Jawab ibuku sambil tersenyum.
“Langsung dikamar siapa?” Tanyaku sembari memotong ucapan Nesya dengan tanganku agar tidak berkata “aku baik-baik saja”
“Kamar mas aja. Kan paling bersih dirumah ini.” Kata Adinda. “Mas Al itu kalo kamarnya gak dibersihin sehari aja kak, bisa masuk igd kali dia.” Dan direspon dengan anggukan oleh ibuku.
Aku menyerah atas serangan dua kubu itu. Aku meminta izin ibuku dan diperbolehkan dengan senang hati oleh beliau untuk meminjamkan kamarku untuk dia beristirahat.
Saat aku meminta izin memasuki kamarku sendiri sedang ku lihat dia sedang melihat-lihat.
“Apa gak papa? Aku belum selesai bantuin ibu kakak didapur.” Katanya sembari menerima handuk untuk mengelap wajahnya yang basah sehabis mencuci muka.
“Gak papa, toh kamu kan tamu. Kita sudah berjalan cukup jauh hari ini kamu harus istirahat sekarang. Ada obat yang harus diminum?” Tanyaku padanya sembari membereskan selimut dan kasurku.
“Ada di tasku.”
“Biar aku ambilkan.” Aku keluar dari kamar dan tidak lama memberi banyak botol obat ditasnya dan segelas air minum.