Autumn In Your Heart

Some Landry
Chapter #12

Sepasang Hati Yang Terikat

I remember tears streaming down your face.

When I said I’ll never let you go.

When all those shadow almost killed your light.

I remember you said don’t leave me here alone.

But all that’s dead and gone and passed tonight.

Lagu Safe and Sound dari Taylor Swift bergema ditelingaku, disore hari dengan daun-daun yang berguguran menandakan bahwa musim gugur akan tiba, menemaniku yang aku sedang berjalan menuju danau disekitar kampus. Surat pengunduran diriku sebagai asisten dosen sudah kuserahkan kepada pak Imam, walaupun dia sedih dengan keputusanku dia tetap mendoakan yang terbaik untukku.

Tanpa sadar aku menikmati angin yang berhembus kepadaku, menembus jaketku yang tebal dan menusuk-nusuk bagian tubuh yang tidak bisa ditutupi oleh helaian kain tebal saat itu. Disaat aku sedang melamun menikmati musik yang berganti di telingaku, dapatku rasakan seseorang datang merangkul lenganku. Aku dapat melihat perempuan cantik yang lebih pendek tersenyum padaku, aku tidak bisa mendengar apa yang dia katakan, lagu A Thousand Years milik Christina Perri lebih ingin kudengar saat ini sembari melihat perempuan yang tersenyum bahagia disebelahku.

Aku ingin tertawa karena dia mengoceh dan aku tidak tahu apa yang dia ucapkan jadi aku juga tidak tahu aku harus menjawab apa. Yang aku tahu, aku mengambil tangannya yang berada dilenganku, menggengamnya seakan takut kehilangannya dan memasukannya di kantung jaketku agar dia tidak kedinginan. Aku melihatnya tersipu malu tersenyum kepadaku, tapi aku yakin aku bisa mati kalau dia seperti itu terus padaku.

Kami berjalan pelan seakan-akan takut moment ini berakhir dan tiba-tiba dia menyandarkan kepalanya kepadaku. Aku pikir dia lelah, tetapi sepertinya tidak karena dia tetap menunjuk-nunjuk tempat yang sepertinya ingin dia kunjungi. Aku hanya dapat tersenyum atas kelakuannya dan berfikir akan merepotkan kalau dia meminta kami kegedung kosong yang terkenal angker yang sekarang sedang dia tunjuk.

“Apa kakak mendengarkanku?” Katanya protes melepas headseatku.

“Sedikit. Dan jawabanku tidak.” Kataku membenarkan syal pinknya yang senada dengan pita dirambutnya yang dikuncir kuda. Dia menggerutu dan aku tetap kekuh dengan niatku. “Pergilah dengan kakakmu kalau kamu mau. Aku masih sayang dengan nyawaku.”

“Huh. Kak Bram? Dia adalah yang paling pengecut dikeluarga kami. Dia bahkan pernah teriak histeris saat melihat ibu kami keluar dari dapur pada malam hari untuk mengambil air.” Jawabnya.

Lihat selengkapnya