Autumn In Your Heart

Some Landry
Chapter #16

Tentang Alexa

Saat itu tidak terasa waktu sudah tiga bulan berlalu, hari semakin dingin memasuki bulan Juli dan waktu yang kulalui dikampus akan segera berakhir. Aku sudah menyelesaikan semua urusan dikampusku dan lebih memiliki waktu yang lebih longgar untuk bekerja di Penerbitan dan juga melakukan pekerjaanku yang lain-lainnya.

Walaupun aku sudah jarang kekampus, aku tetap datang hampir setiap hari untuk menemani perempuan yang kukasihi selain ibuku itu. Selama beberapa bulan kencan secara diam-diam, kami hampir tidak pernah bertengkar, tetapi bukan berarti kami tidak memiliki masalah. Keegoisanku padanya terkadang membuatku memulai pertengkaran tetapi dia selalu saja diam mendengarkan, mengerti, tersenyum padaku, memelukku dan meminta maaf terlebih dahulu walaupun itu memang salahku. Kami benar-benar saling takut kehilangan.

Kami selalu pulang bersama, mengobrol bersama dan bergandengan tangan melewati jalan-jalan yang lebih jauh dari tujuan kami untuk menikmati kencan kecil kami. Nesya akan memulai kuliahnya bulan ini, dalam hati aku merasa was-was akan kehadirannya dikampus tanpa adanya pengawasan dari Bram dan aku yang menjaganya dari tatapan-tatapan nakal mahasiswa dibawahku. Kata Alexa, Bram sudah memperingatkan panitia ospek apa yang akan terjadi pada mereka bila mereka ada yang mendekati bahkan berani mengajak ngobrol dirinya selain perempuan. Setidaknya aku sedikit tenang.

Semakin hari aku lebih sering memberitahu Nesya bahwa aku akan telat menjemputnya dan dia pasti akan membalas dia akan menungguku, aku merasa kasihan dengan kekasihku itu tetapi aku benar-benar sibuk sekarang. Pekerjaan magangku sebagai Ast. Right Editor sangat menguras waktu tetapi tetap menyenangkan, benar apa kata Bastian kalau bekerja dengan apa yang kita suka merupakan hal yang paling menyenangkan didunia. Faktor lainnya mungkin karena keberadaan Alexa yang menemaniku disaat senggang dan juga teman perkantoran yang easy going terutama atasanku sebagai Pemimpin Redaksi, Fahrina Santria.

 Atasanku itu lebih tua tujuh tahun dariku, dia sudah menikah dan juga menjadi ibu tunggal dari satu orang anak laki-laki berumur 6 tahun. Saat pertama kali melihatnya, dengan senyum dan tertawa receh dia menyambut semua anak magang dengan tangan terbuka dan tidak membeda bedakan, terbukti bagaimana cara dia memperlakukan Alexa sebagai anak atasannya untuk pekerjaan sebagai Ast.Picture Editor.

Yang terbaik dari Ibu Fahrina adalah dia yang dapat berbaur dengan bawahannya baik bergosip ria atau bersanda gurau lainnya. Dia benar-benar menjadi inspirasiku, di saat dunia tidak bisa menerima bahwa derajat perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki disekitarnya dia tetap maju melawan para pemilik saham lain dan melindungi penulis yang berada dibawah naungannya. Mungkin karena itu Penerbit Sinar adalah penerbitan dengan pilihan pertama yang dipilih kebanyakan pelamar.

“Bu Fahrina manggil kamu?” Tanya Alexa dengan sendok ditangannya.

“Iya, katanya nyuruh aku dateng kekantornya sepulang kerja ini.” dengan segelas kopi ditanggan aku melihat sekeliling berfikir café tidak seramai biasanya di hari Rabu ini.

“Ada apa dengan tante-tante itu? Jangan-jangan dia mau goda kamu lagi. Aku harus bilang papaku.” Kata alexa yang tiba-tiba mengeluarkan hp nya.

“Jangan bercanda Lex.” Kataku menepis hpnya. “Kamu selalu sensi ya kalau berbicara soal dia?”

“Kamu gak lihat kerjaanku? Aku ini Cuma ast. Tapi dah kayak pegawai tetap. Salah satunya ya karena dia.”

“Ya itu biar kamu belajar.”

“Entahlah. Aku akan bilang ayahku biar dipindah di bagian divisi lain saja.” Kata Alexa memakan baksonya.

Setelah jam kantor selesai aku menuju kantor Pemimpin Redaksi kami dibagian atas gedung bertingkat tiga tersebut. Setelah sampai didepan kantornya, aku menarik nafas panjang dan mengetuk pintu sebanyak tiga kali dan menyebutkan namaku untuk meminta izin masuk dari pemilik ruangan. Aku membuka pintu setelah terdengar jawaban dari dalam, dia yang duduk dimejanya dengan kaca mata berada diatas hidungnya dengan ekspresi serius menatap laptopnya dia sedang menulis sesuatu.

“Duduk dulu, sebentar ya aku selesaikan ini dulu.” Katanya tanpa melihatku.

Aku duduk di kursi yang tersedia di dalam ruangan tersebut dan melihat-lihat ruangan tersebut. Ruangannya cukup lapang tanpa banyak perabotan untuk sekelas perempuan seperti dia. Aku melihat dia sekali lagi, perempuan bertubuh jangkung dengan kulit kuning langsat dan baju berkemeja merah sedang mengetik dikomputernya dengan tatapan ganas seakan-akan ingin memakan benda didepannya.

“Haruskah saya datang lagi nanti, Bu?” Tanyaku takut menggangu konsentrasinya.

“No. No. No. It's okey. ini sudah selesai.” Katanya dengan mengetik keras kata-kata terakhir di laptopnya.

Dia melihatku teduduk kaku, beliau melepaskan kacamatanya dan mengeluarkan kemejanya yang tadi dia masukan dicelana cutbray hitam panjangnya. Dia menghampiriku sembari tersenyum, dan mengatakan bahwa atasannya benar-benar bajingan berhati dingin yang ingin semuanya selesai dalam satu waktu.

“Memangnya kita ini sapi perahnya apa?” Katanya sembari menghempaskan diri dikursi sebelahku.

“ Oke baiklah, kita langsung aja ke pointnya. Pertama-tama gimana tentang kerjaanmu disini?” Katanya layaknya bos yang mengintrogasi bawahannya.

“Saya pikir semua baik-baik saja bu. Ada yang ibu tidak suka dari pekerjaan saya?” aku sedikit terkejut sebenarnya.

Lihat selengkapnya