Avada Kedavra: The Destroyer of Edge

Zii
Chapter #10

AFRAID #10

Hallo Zeniers


Selamat Membaca Seng 💋


-


Pagi ini mentari benar-benar menyinari Ghofindas Magic School. Rasa hangat yang membuat semua orang ingin berlama-lama di bawah sang mentari, sama halnya dengan anak berambut putih itu. Sudah sekitar sepuluh menit Ia terdiam di bawah pohon merasakan hangatnya mentari yang lolos dari sela-sela daun itu.

Akhir-akhir ini kepala Sean selalu berisik mengenai edge nya. Setelah mendengar cerita dari Alam dan yang lain, Sean jadi tahu apa yang terjadi sebelum Ia pingsan dan 'tak ingat apapun. Itu sangat mengerikan di saat Ia membayangkan tubuhnya terbalut oleh es besar.

Dan sepertinya sekarang Sean memiliki hutang yang harus dibayar pada Mika karena berhasil mengeluarkannya dari bongkahan es itu. Pertanyaannya, bagaimana bisa Sean mengeluarkan edge nya padahal Ia sama sekali tidak mengeluarkannya. Mustahil 'kan jika edge nya memiliki pikiran sendiri? Atau itu mungkin saja terjadi?

Entahlah yang penting sekarang adalah untuk memberanikan dirinya sendiri. Sean tidak mau jika suatu hari nanti edge nya akan melukai teman-teman nya. Terlihat sejauh ini bagaimana jadinya jika edge Sean yang tidak terkontrol itu lepas kendali.

Tawaran Mika saat itu untuk mengajarinya mengontrol edge harus Ia terima atau mungkin Ia yang harus meminta diajari oleh Mika. Meski Sean selalu kesal dengan anak gila itu, Ia tidak pernah memandang Mika sebagai orang yang lemah. Mika adalah orang yang bisa mengontrol edge dengan sangat stabil sejak dulu.

Pandangannya yang sedari tadi menatap lurus ke depan tiba-tiba beralih saat melihat anak perempuan yang terjatuh. Dengan sigap Sean berlari menuju ke arah anak itu dan menolongnya. Ini pertama kalinya Sean berinteraksi dengan seorang perempuan di Ghomas.

"Terimakasih, Kak! Aku agak ceroboh tadi," katanya.

Sean mengangguk. "Tangan mu luka, harus segera diobati."

"Ah, ini? Tenang aja Kak, ini cuman kegores aj- uhuk ... "

Anak perempuan itu 'tak menyelesaikan ucapannya. Ia terbatuk sambil memegang dadanya, Sean tidak akan setega itu untuk meninggalkan seorang perempuan yang sedang sakit sendiri bukan?

Dalam hitungan detik kemudian Sean mendekat dan menggendong perempuan itu ala bridal style. Sean meminta maaf untuk perlakuannya itu sebelum Ia pergi menuju ruang kesehatan.

Sepanjang perjalanan perempuan itu 'tak berhenti batuk, sesekali anak itu juga memukul-mukul dadanya. Dan beberapa kali juga Sean menyuruhnya untuk berhenti melakukan itu.

Tiga menit kemudian mereka berdua sampai di ruang kesehatan. Dokter Pean yang memang selalu ada di UKS pun langsung membawa perempuan itu dan membaringkannya di tempat tidur. Sean sedikit khawatir karena batuknya 'tak berhenti sejak tadi.

"Mr. Pean," panggil Sean.

"Kamu? Sean bukan? Bisa tolong tunggu di luar dulu?"

"Ah ... iya."

Sean menuruti apa yang dikatakan Pean dan pergi keluar ruangan itu. Sebentar lagi kelas pertama akan dimulai, apa Sean pergi saja? Lagi pula perempuan itu sudah berada di tangan dokter, seharusnya Ia pasti akan jauh lebih baik.

Helaan napas terdengar setelah selesai memikirkan itu Sean pun mengambil keputusan untuk pergi menuju kelasnya. Ia sangat percaya pada Pean karena saat Ia berada di ruang kesehatan pun Pean sangat ramah.

***


Lorong-lorong dipenuhi oleh siswa-siswi Ghomas, Sean menyadari sejak tadi Ia berjalan banyak sekali orang yang menatapnya tajam penuh dengan ketakutan. Tatapan yang belum pernah Sean dapatkan sejak dulu, itu seperti tatapan yang menyuruhnya untuk pergi dari tempat ini.

Sean tidak menyangka kalau kejadian itu menumbulkan ketakutan pada orang yang melihatnya. Yah, Ia mengerti karena jika mereka dekat dengan Sean bisa saja edge nya yang 'tak bisa Ia kontrol itu lepas kendali dan melukai mereka.

Lagi pula Sean tidak berniat memperbanyak teman sekarang. Selama Ia masih berada di Ghomas, Ia tidak masalah. Saat sampai di area kerumunan banyak orang, seseorang tiba-tiba berkata.

Lihat selengkapnya