Kerajaan megah itu sudah terlihat di depan mata. Begitu cantik dan indah. Mobil berhenti di de-pan pintu kerajaan. Belum sempat Sophia masuk, seorang gadis sebayanya datang dengan mobil keren juga.
“Halo! Namaku Hana Fujita. Panggil saja Hana. Kamu murid baru?” tanyanya ramah.
“Hai. Namaku Sophia. Ya, aku murid baru.”
“Yuk, kita masuk!”
Mereka berdua pun masuk. Sophia langsung terperangah melihat dinding di sekelilingnya yang terbuat dari kristal bening yang memantulkan sinar lampu. Sungguh indah! Atapnya ditumbuhi bermacam-macam bunga.
Saat mereka sedang bengong melihat-lihat, se-orang gadis sebaya mereka datang. Tampangnya sinis. Bahkan menurut Sophia menyebalkan.
“Oooh, murid baru?” tanya gadis itu dingin.
“Ya. Kamu?” kata Hana pura-pura ramah.
“Aku sebetulnya murid baru. Tapi karena ibuku adalah guru di sini, aku setahun belajar lebih cepat dari kalian,” katanya sok ramah, tapi tetap memasang muka sombong.
“Oh, ya, namaku Sophia,” kata Sophia sambil menjulurkan tangan.
Gadis itu hanya melirik tangan Sophia. “Sorry, aku tidak bisa menjabat tangan gadis sepertimu. Namaku Edelina. Edelina Greenway Bell.”
“Namaku Hana Fujita Poorylea,” kata Hana.
“What? Poor? Kamu gadis miskin?” tanya Edelina dengan tersenyum sinis. Muka Hana memerah. Tega sekali, dia!
“Edelina, bisakah kamu menjaga kata-katamu?” Sophia ikut marah.
“Kenapa, sih, kamu? Aku hanya bertanya kepadanya, apakah dia gadis miskin? Dengan begitu, kan, aku bisa membantunya, kek, ngasih sumbangan, kek.”
“Tapi ....”
“Hei, hei, Anak-Anak, tolong jangan ribut di tengah jalan. Ada apa ini?” tanya seorang perempuan yang memakai rok panjang. Dia cantik menawan.
“Mmm ... begini, Bu. Mereka, murid-murid baru itu mengejekku dan membentakku. Mereka ..., ” katakata Edelina terputus.
“Dia yang mulai, Miss! Dia mengejekku dan mengejek Hana gadis miskin!” seru Sophia.
“Tapi, kamu yang memulai membentakku! Bukankah itu ada di aturan, Ibu?” tanya Edelina memohon dukungan.
“Oke, kalian semua salah. Ayo, minta maaf! Dan kalian berdua,” perempuan itu menunjuk Sophia dan Hana, “cepat ke kamar kalian di lantai empat, nomor 597. Jangan lupa, pukul delapan malam ada acara pembukaan tahun ajaran baru dan penyambutan murid baru di aula.” Perempuan yang ternyata ibu Edelina itu pun pergi.
Mereka bertiga bukannya saling minta maaf, malah hanya saling tatap dan pergi begitu saja.
Sophia dan Hana berjalan berdua dan naik lift ke lantai empat. Mereka berdua lalu mencari kamar nomor 597. Kamar mereka itu tampak sudah terbuka sedikit pintunya. Jelas ada seseorang di dalamnya.
Ngeeek, Sophia membuka pintu kamar. Di dalam sepi. Hanya ada tiga kasur empuk berjejer rapi, kamar mandi, TV, meja, dan lampu gantung. Sophia dan Hana masuk ke dalam. Mereka memasukkan dan menyimpan koper masing-masing.
Tiba-tiba, pintu kamar mandi berderit. Sophia dan Hana terkejut. Sesosok berambut hitam panjang pelan-pelan keluar. Aaa ...!
“Oh, halo! Murid baru juga? What? Kenapa kalian berpelukan begitu?” tanya gadis cantik itu.