Di tepian oasis yang sunyi, di sebuah desa bernama Afshana, terhampar rumah-rumah sederhana nan hangat. Di sana, kehidupan mengalir tenang, diiringi gemerisik daun palem dan kicauan burung. Penduduknya, para petani dan pengrajin, menjalani hari-hari mereka dengan penuh syukur, menorehkan jejak sederhana di atas tanah yang kering. Di tengah desa itulah, sebuah cahaya baru terlahir.
Seorang bayi laki-laki, mungil dan lembut, hadir di dunia, membawa harapan baru bagi keluarga Abdullah, seorang pejabat pemerintahan yang bijaksana, dan Fatima, wanita yang lembut dan berhati mulia. Sang bayi, yang diberi nama Ibnu Sina, artinya "Anak dari Sina", lahir di tengah malam yang hening, diterangi cahaya rembulan yang lembut.
Udara di Afshana terasa lebih sejuk, seolah alam pun ikut bersukacita atas kelahiran sang bayi. Di dalam rumah sederhana nan hangat, Fatima memeluk erat Ibnu Sina, matanya berkaca-kaca, penuh dengan rasa syukur dan cinta. Abdullah, dengan wajah yang penuh kebahagiaan, mengelus lembut kepala istrinya, meneteskan air mata haru.
"Dia sempurna, Fatima," bisik Abdullah, suaranya gemetar karena haru. "Dia adalah anugerah terindah dari Tuhan." Fatima mengangguk, matanya tertuju pada wajah mungil Ibnu Sina yang tertidur lelap. "Ya, Abdullah," jawabnya, suaranya bergetar karena emosi. "Dia adalah cahaya yang akan menerangi hidup kita."
Ketika fajar menyingsing, penduduk Afshana berbondong-bondong datang ke rumah Abdullah, membawa hadiah sederhana dan doa tulus untuk sang bayi. Mereka bersukacita bersama, merayakan kelahiran Ibnu Sina yang diyakini akan membawa berkah bagi desa mereka.
Di tengah hiruk pikuk pesta sederhana itu, Abdullah dengan khidmat mengadzani Ibnu Sina untuk pertama kalinya. Suara adzan yang merdu, mengalun lembut di udara, menggema di seluruh desa Afshana. Saat itu, suasana hening seketika, semua mata tertuju pada Ibnu Sina yang tertidur lelap, seolah alam pun terkesima oleh suara adzan yang suci.
Di tengah kesunyian desa Afshana, saat Ibnu Sina diadzani untuk pertama kalinya, sebuah perasaan magis menyelimuti semua orang. Seolah-olah sebuah janji terucap, sebuah harapan terpancar, bahwa Ibnu Sina akan tumbuh menjadi seseorang yang luar biasa, seorang penerang jalan bagi umat manusia.
Dan di desa Afshana, di tengah kehidupan sederhana nan hangat, Ibnu Sina tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas, pendiam, dan penuh rasa ingin tahu. Ia menghabiskan masa kecilnya dengan menjelajahi alam, belajar dari ayahnya, dan menyerap pengetahuan dengan rakus.
Di desa Afshana, di tengah hamparan padang pasir yang luas, Ibnu Sina tumbuh dengan cepat. Rumah sederhana mereka, yang terletak di tepi oasis, menjadi saksi bisu atas rasa ingin tahunya yang tak terpadamkan. Setiap pagi, Ibnu Sina bangun dengan semangat, matanya berbinar-binar, siap untuk menjelajahi dunia di sekitarnya.
"Ayah, apa itu?" tanyanya suatu hari, menunjuk ke arah pohon kurma yang menjulang tinggi di tengah oasis. "Itu pohon kurma, anakku," jawab Abdullah, tersenyum melihat antusiasme putranya. "Pohon itu memberikan buah yang manis dan menyegarkan."
Ibnu Sina, dengan tangan kecilnya, meraih buah kurma yang jatuh ke tanah. Ia menggigitnya dengan lahap, menikmati rasa manisnya. "Ayah, bagaimana pohon ini bisa tumbuh di tengah padang pasir yang kering?" tanyanya lagi, matanya berbinar-binar.
Abdullah, dengan sabar, menjelaskan tentang keajaiban alam. "Anakku, pohon kurma memiliki akar yang panjang dan kuat, yang menjangkau jauh ke dalam tanah untuk mencari air. Di dalam tanah, terdapat air yang tersimpan, yang menjadi sumber kehidupan bagi pohon ini."
Ibnu Sina terdiam, pikirannya dipenuhi dengan kekaguman. Ia merasa terpesona oleh keajaiban alam, dan ia ingin tahu lebih banyak tentangnya. Ia ingin tahu bagaimana tumbuhan bisa tumbuh, bagaimana hewan bisa hidup, dan bagaimana alam semesta bekerja.
Suatu malam, saat Abdullah dan Ibnu Sina duduk di halaman rumah mereka, memandang langit yang dipenuhi bintang, Ibnu Sina kembali bertanya. "Ayah, bagaimana bintang-bintang itu bisa bersinar begitu terang?"