Matahari sore menyapa desa Afshana dengan hangat, menerangi rumah sederhana Ibnu Sina yang terbuat dari batu bata merah dan dihiasi dengan ukiran kayu sederhana. Di teras rumah, Fatima, sang ibu, duduk menenun kain sutra berwarna biru kehijauan, jari-jemarinya bergerak lincah, sesekali melirik putranya yang duduk di dekatnya. Ibnu Sina, dengan mata yang berbinar-binar, asyik membaca sebuah buku tua yang ia temukan di perpustakaan kecil di desa. Buku itu berjilid kulit kambing, dengan halaman-halaman yang menguning karena usia, dan tulisan-tulisan yang rumit dan indah. Ia begitu asyik membaca, hingga tak menyadari ibunya yang memperhatikannya dengan penuh kasih sayang.
"Ibnu Sina, anakku," kata Fatima, suaranya lembut, diiringi senyum hangat yang menyentuh hati. "Kenapa kau selalu bertanya? Kenapa kau tidak menerima saja apa yang telah diajarkan?"
Ibnu Sina mengangkat wajahnya, matanya berbinar-binar dengan semangat. "Ibu," jawabnya, "aku ingin memahami dunia dengan lebih baik. Aku ingin menemukan kebenaran, dan aku tidak akan berhenti bertanya sampai aku menemukannya."
Fatima mengelus lembut rambut putranya, matanya berkaca-kaca karena rasa cinta yang mendalam. "Anakku," katanya, "semangatmu untuk mencari kebenaran sangatlah mulia. Tetapi ingatlah bahwa jalan menuju kebenaran itu panjang dan berliku-liku. Seperti sungai yang mengalir, ia melewati lembah, mendaki bukit, dan berkelok-kelok sebelum mencapai samudra. Perjalananmu akan penuh dengan rintangan, pertanyaan-pertanyaan yang sulit, dan jawaban-jawaban yang tak selalu memuaskan."
"Apakah itu berarti aku harus menyerah, Ibu?" tanya Ibnu Sina, matanya sedikit berkerut.
"Tidak, anakku," jawab Fatima, menggeleng pelan. "Jangan pernah menyerah, tetapi jangan pernah lupa untuk bersikap rendah hati dan menghormati orang lain. Kebenaran tidak selalu datang dengan mudah, dan terkadang kita harus belajar dari orang lain, bahkan dari mereka yang berbeda pendapat dengan kita."
"Bagaimana aku bisa bersikap rendah hati, Ibu?" tanya Ibnu Sina, matanya masih penuh dengan keraguan.
"Anakku," jawab Fatima, "rendah hati berarti menerima bahwa kita tidak tahu segalanya, bahwa kita masih banyak yang harus dipelajari. Itu berarti mendengarkan orang lain dengan saksama, menghargai pendapat mereka, dan tidak menganggap diri kita lebih pintar dari orang lain."
Ibnu Sina terdiam, merenungkan kata-kata ibunya. Ia menyadari bahwa perjalanan mencari kebenaran bukanlah perjalanan yang mudah. Ia harus bersiap menghadapi tantangan, pertanyaan-pertanyaan yang sulit, dan jawaban-jawaban yang tak selalu memuaskan. Tetapi ia juga harus bersikap rendah hati dan menghormati orang lain, karena kebenaran mungkin tersembunyi di tempat yang tak terduga.
"Ibu," kata Ibnu Sina, suaranya bergetar dengan tekad, "aku berjanji untuk terus belajar, untuk terus mencari kebenaran, untuk terus mempertanyakan, dan untuk terus bersikap rendah hati dan menghormati orang lain."
Fatima tersenyum, matanya berkaca-kaca karena rasa sayang yang mendalam. "Anakku," jawabnya, memeluk Ibnu Sina erat-erat, "aku bangga padamu. Semoga Tuhan selalu membimbingmu dalam perjalananmu mencari kebenaran."
Ibnu Sina mengangguk, hatinya dipenuhi dengan tekad. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus belajar, untuk terus mencari kebenaran, untuk terus mempertanyakan, dan untuk terus bersikap rendah hati dan menghormati orang lain. Perjalanan pengetahuannya baru saja dimulai, dan ia siap untuk menghadapi semua tantangan dengan penuh semangat, dengan keyakinan bahwa ibunya selalu ada di sisinya, mendukungnya dengan cinta dan kasih sayang yang tak terbatas.
Sore itu, saat matahari mulai terbenam, Ibnu Sina kembali ke perpustakaan kecil di desa. Ia ingin membaca lebih banyak buku, untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benaknya. Ia membaca tentang sejarah, tentang filsafat, tentang ilmu pengetahuan, dan tentang agama. Ia membaca tentang para ilmuwan dan filsuf ternama, seperti Aristoteles, Plato, dan Al-Khawarizmi. Ia membaca tentang penemuan-penemuan baru, tentang teori-teori yang menantang dogma lama, dan tentang ide-ide yang membuka cakrawala pemikiran.
Ibnu Sina membaca dengan tekad, dengan semangat, dan dengan rasa haus yang tak terpadamkan. Ia ingin memahami dunia ini, ingin memahami dirinya sendiri, ingin memahami tujuan hidupnya. Ia tidak puas dengan jawaban yang sederhana, ia selalu ingin menggali lebih dalam, mencari makna di balik setiap pernyataan. Ia mempertanyakan dogma dan tradisi, dan ia tidak takut untuk berbeda pendapat dengan orang lain.