Avicenna : The alchemist of knowledge

Taufik reja waluya
Chapter #3

Perjalanan sang pelajar

Mentari pagi menyinari desa Afshana, menyapa Ibnu Sina yang sedang asyik membaca sebuah buku tua di bawah pohon kurma kesayangannya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma harum bunga-bunga liar dari padang pasir. Namun, hari itu terasa berbeda. Suasana hati Ibnu Sina campur aduk. Ia tahu hari ini adalah hari keberangkatan menuju Bukhara.


Ayahnya, Abdullah, menghampirinya, membawa sebuah unta yang telah dimuat barang-barang mereka. Wajah Abdullah tampak penuh dengan kebanggaan dan sedikit haru.


"Ibnu Sina, anakku," kata Abdullah, suaranya terdengar sedikit berat, "sudah siap?"



Ibnu Sina mengangguk, namun matanya tampak berkaca-kaca. Ia memeluk erat pohon kurma kesayangannya, seolah-olah ingin membawa sebagian dari Afshana bersamanya.


"Ayah," katanya, suaranya bergetar, "aku akan merindukan tempat ini. Aku merindukan pohon kurma ini, oasis ini, dan teman-teman di desa ini."


Abdullah meletakkan tangannya di pundak Ibnu Sina, merasakan emosi putranya. "Anakku," katanya lembut, "aku mengerti. Afshana adalah rumah kita, tempat kita tumbuh bersama. Tetapi Bukhara menawarkan kesempatan yang lebih besar untukmu, kesempatan untuk belajar dan berkembang."


"Tapi Ayah," Ibnu Sina menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca, "aku takut tidak akan bisa beradaptasi di tempat baru. Aku takut kehilangan teman-temanku, guruku, dan semua yang sudah kukenal."


Abdullah tersenyum, berusaha menenangkan putranya. "Jangan takut, anakku. Kau memiliki kecerdasan dan semangat yang luar biasa. Kau akan mampu beradaptasi di mana pun kau berada. Dan ingatlah, meskipun kita meninggalkan Afshana, kenangan indah kita akan selalu ada di hati kita."



Ibnu Sina terdiam, merenungkan kata-kata ayahnya. Ia memang merasa sedih meninggalkan rumah dan teman-temannya, tetapi ia juga merasakan getaran semangat untuk memulai petualangan baru di Bukhara. Ia tahu bahwa di sana menunggunya kesempatan untuk belajar lebih banyak, untuk mengembangkan bakatnya, dan untuk mencapai mimpinya.



"Baiklah, Ayah," kata Ibnu Sina, menghapus air matanya, "aku akan pergi. Tapi aku akan selalu mengingat Afshana."



Abdullah memeluk Ibnu Sina erat-erat, merasakan kehangatan dan cinta yang mendalam. "Anakku," katanya, "kita akan selalu mengingat Afshana. Tetapi kita juga harus menatap masa depan dengan penuh harapan. Bukhara menunggumu."



Mereka pun berangkat, meninggalkan desa Afshana dengan hati yang campur aduk. Ibnu Sina membawa kenangan indah tentang rumah masa kecilnya, tetapi juga penuh semangat untuk menghadapi tantangan baru di kota besar yang menunggunya. Di sepanjang perjalanan, ia merenungkan semua yang telah ia pelajari di Afshana, dan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus belajar dan berkembang, agar suatu hari nanti, ia dapat membanggakan orang-orang yang dicintainya.



Bukhara menyambut Ibnu Sina dengan hiruk pikuk yang berbeda dari kesunyian desa Afshana. Gedung-gedung tinggi menjulang, pasar ramai dengan penjual dan pembeli, dan aroma rempah-rempah memenuhi udara. Di tengah keramaian itu, Ibnu Sina merasakan debar jantung yang berbeda. Ia memasuki sebuah sekolah yang terkenal dengan kualitas pendidikannya, sebuah tempat yang dipenuhi dengan para pelajar yang haus akan pengetahuan.



"Selamat datang, Ibnu Sina," sambut seorang guru tua dengan ramah, "kamu adalah siswa baru di sini?"


"Ya, Tuan," jawab Ibnu Sina, sedikit gugup. "Namaku Ibnu Sina, dan aku baru saja pindah dari desa Afshana."


"Ah, Afshana," kata guru tua itu, matanya berbinar-binar. "Desa yang indah dan tenang. Semoga perjalananmu ke sini menyenangkan."


"Terima kasih, Tuan," jawab Ibnu Sina, merasa sedikit lega. "Saya sangat ingin belajar di sini."



"Baiklah, Ibnu Sina," kata guru tua itu, "kamu akan belajar bahasa Arab, sastra, matematika, ilmu agama, filsafat, logika, dan ilmu pengetahuan. Semua pelajaran itu penting untuk memahami dunia ini."


Ibnu Sina mengangguk, matanya berbinar-binar dengan semangat. Ia tidak sabar untuk memulai pelajarannya. Ia haus akan pengetahuan, dan ia ingin menyerap semua ilmu yang ditawarkan sekolah ini.



Di kelas, Ibnu Sina duduk di bangku depan, matanya tertuju pada guru yang sedang menjelaskan tentang tata bahasa Arab. Ia mendengarkan dengan saksama, pikirannya bekerja keras untuk memahami setiap kata yang diucapkan. Ia mencatat setiap poin penting, dan ia mengajukan pertanyaan jika ada yang tidak ia mengerti.


Lihat selengkapnya