Awakening - Sixth Sense

Kevin Aryanto Wijaya
Chapter #1

Pertemuan Pertama

Malam perlahan menghilang, digantikan oleh cahaya fajar yang kian menerang. Merah dan jingga pun mulai menghiasi langit, layaknya sedang mengusir kegelapan untuk menyambut sang pagi. 


Kuhirup aroma pagi itu, jiwa dan pikiranku pun terasa segar. Aku duduk disofa kost-anku, beristirahat sejenak seraya bersiap untuk memulai perjalanan baru di lingkungan yang baru juga. Kutatap layar TV hitam yang berisikan pantulan figurku. Hingga perlahan, rasa nyaman mulai memenuhi sekujur tubuhku. Aku tak kuasa mulai jatuh ke dalam lamunan tak berujung yang berisikan memori masa laluku.


**


Perkenalkan nama lengkapku adalah Rama Wijaya, aku sering dipanggil Rama. Ayahku memberikan nama itu karena sebuah alasan yang klasik. Alasannya sama seperti orangtua lain pada umumnya, yang menggunakan nama idolanya kepada anaknya. Yang kutahu, dulunya ayahku sangat menyukai cerita legenda wayang yang sampai kini masih juga dikisahkan. Kisah legenda populer yang sangat sering diadaptasi yaitu legenda Rama dan Shinta.


Ayahku berasal dari desa yang masih sangat kental dengan adat istiadat Jawa. Itu sebabnya Ayahku memiliki sifat yang konservatif, efek dari lingkungan asal muasalnya. Sedangkan di sisi lain, Ibuku sudah menetap di Jakarta sejak lahir. Jika dipikir-pikir, latar belakang mereka bisa dibilang sangat berbeda dan bertolak belakang. Begitu juga dengan sifat mereka. Tapi anehnya mereka bisa menikah dan berakhir hidup bersama, aneh bukan?.


Mereka berdua bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta yang berbeda. Secara finansial bisa dikatakan keluarga kami berkecukupan. Sejak kecil aku juga dididik untuk hidup dengan sederhana oleh orangtuaku. Mereka tak berharap aku menjadi orang yang hebat ataupun sukses, yang terpenting adalah aku dapat menjadi orang yang hidup dengan mengedepankan moral dan prinsip.


Aku adalah anak semata wayang alias anak satu-satunya di keluargaku. Banyak orang yang mengatakan bahwa aku pasti sangat disayang dan dimanja kedua orangtuaku. Mungkin apa yang mereka pikir benar, tapi tidak sepenuhnya benar. Aku memang merasakan kasih sayang dari mereka dari tindakan, tetapi tidak dari ucapan. 


Sebab kedua orang tuaku memiliki ego yang sangat tinggi. Selain itu, kedua orangtuaku sangat sering berselisih pendapat dan bertengkar. Itulah sebabnya aku menjadi orang yang kurang percaya diri dan pendiam. Hingga perlahan tanpa kusadari aku yang saat kecil suka banyak omong, mulai sering memendam pikiran dan perasaanku sendiri saat beranjak dewasa.


Kehidupanku sejak kecil sampai aku menginjak bangku SMA bisa dikatakan biasa saja. Tiada kejadian unik ataupun menarik yang bisa kubanggakan. Aku hanya menjalani kehidupan yang membosankan. Aku hanya mengikuti arus dan melakukan aktivitas seperti orang lainnya tanpa mengetahui apa sebenarnya impianku itu sendiri. Jika ditanya mengapa aku tak mengetahui apa impianku sendiri? Alasannya adalah karena aku tak melihat bakat atau talenta yang menonjol dari diriku.


Sebenarnya aku sudah mencoba banyak hal, Olahraga? Saat bermain sepakbola, aku hanya menjadi pemain figuran yang bahkan hampir tak pernah menyentuh dan dioper bola oleh rekan timku. Musik? Saat menyentuh gitar, otak dan jari-jemariku tak bisa memahami dan sejalan saat mempelajarinya. Begitu juga saat bernyanyi, suaraku terdengar seperti orang yang sedang tercekik. Hingga pada akhirnya aku menyerah untuk serius mempelajarinya.


Aku masih bingung dan bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya apakah aku tidak memiliki bakat sama sekali? Jika terus begini, apakah aku dapat menikmati hidup kedepannya?. Aku ingin menjalani hidup sesuai dengan passion dan hal-hal yang kucintai, agar aku bisa menikmati hidup dan tak menyesal dikemudian hari.


Hingga didalam perenunganku, aku menyadari disekitarku ternyata banyak orang yang bernasib sama seperti diriku dan masih bisa hidup dengan baik-baik saja kok. Oleh sebab itu aku berusaha untuk menerima keadaanku, walau sejujurnya aku merasa minder dan iri saat melihat orang lain yang bisa memamerkan bakatnya.


Saat sedang asik melamun, tiba-tiba seseorang mengejutkanku dengan teriakannya dari arah belakang.


“Woi, pagi-pagi dah ngayal aja lo hahaha.” ucap seorang pria 


“Bangke.” ucapku sambil terpenranjat dari sofa yang kududuki.


“Ngayal apaan coba lo? Ngayal cewek yang lagi bugil ya? Hahaha” ejeknya


“Lo kira gw mesum kayak otak lo. Gw sampe ngayal gini gara-gara nungguin lo yang dandannya lama banget.” balasku dengan kesal


“Yaudah, berangkat yok.” ucapnya sambil merangkul bahuku.


Kami berdua pun melangkah menuju pintu keluar kost-an. Sebenarnya pagi ini kami berdua pertama kalinya akan berangkat menuju kampus sebagai mahasiswa yang melaksanakan ospek. Sebelumnya, pria yang berbicara dan merangkul bahuku adalah Steven. 


Dia adalah satu-satunya sahabat yang kupunya sepanjang hidupku saat itu. Bisa dibilang dia termasuk salah satu siswa terpopuler di sekolahku. Alasannya adalah karena dia memiliki wajah yang tampan kebule-bulean dan postur tubuhnya yang tinggi seperti model. Ditambah lagi dengan sifatnya yang ramah dan humoris, membuat dia selalu menjadi pusat perhatian bagi kaum hawa. 


Berbanding terbalik denganku yang memiliki wajah dan postur tubuh yang biasa-biasa saja. Begitu juga sifatku yang pendiam dan tidak suka menjadi pusat perhatian. Mungkin jika ada yang unik dari diriku yang sering kudengar dari orang lain dan Steven adalah tatapan mataku. Akibatnya seringkali orang yang baru mengenalku selalu bertanya apakah aku sedang marah saat berbicara dengannya. Itu sebabnya aku mencoba untuk tidak menatap orang lain disekitarku, agar mereka tak berprasangka buruk nantinya.


Sebenarnya Steven seringkali mengoceh kalau aku sebenarnya memiliki wajah yang tampan. Tapi aku tidak percaya dan tak menggubris omongan darinya. Karena aku menganggap dia hanya berusaha membantuku untuk menaikkan kepercayaan diri. Jadi aku mengiyakan apa saja ocehannya agar tidak berkepanjangan.


Jika diumpamakan, Steven adalah cahaya yang terang benderang sedangkan aku adalah bayangan yang bersemayam didalamnya. Tapi kedua hal itu tidak dapat terpisah, mungkin itu sebabnya kami dapat menjadi sahabat walau memiliki image yang sangat kontras.


Kami berdua kenal pertama kali pada saat kelas 1 SMP, kebetulan waktu itu kami berada dikelas yang sama. Saat ini kami baru saja lulus dari jenjang pendidikan SMA. Dulunya, beberapa hari setelah lulus ujian nasional, kami berdua memutuskan akan melanjutkan pendidikan ke universitas dan jurusan yang sama di Jakarta. Setelah menjalani semua proses registrasi dan test, untungnya kami berdua diterima di universitas itu.  


Berhubung jarak antara rumah dan kampus kami yang tergolong sangat jauh. Aku dan Steven berinisiatif untuk hidup ngekost di dekat daerah kampus. Untungnya kedua orangtua kami setuju dan memperbolehkannya. Hitung-hitung menambah pengalaman agar kami bisa hidup lebih mandiri kedepannya.

Lihat selengkapnya