"Masa lalu jangan dijadikan belenggu penghalang, cukup dijadikan pelajaran demi mewujudkan setiap harapan." ~Andrie Wangsa~
_________________________
Matahari terbit menyambutku ketika memasuki kota kecil ini. Mentari belum sempurna menampakkan dirinya, orang-orang sudah sibuk di sepanjang jalan pasar ini. Sibuk membenahi barang dagangannya, suara riuh para pedagang yang menawarkan aneka macam bahan masakan. Para pembeli tak kalah bisingnya, suara bising meminta potongan harga, ada pula yang sibuk meneriaki anaknya yang berlari mendekati pedagang mainan. Suara-suara mereka berhasil menerobos kelajuan mobil yang sedang kami naiki.
"Nay, Papa dan Mama akan selalu dukung keinginan kamu. Kami akan berusaha untuk memberikan yang terbaik, Nak. Papa tak masalah dengan biaya kamu selama di sana. Papa dan Mama hanya minta satu hal, jadilah anak baik yang selalu ingat pada Rabbnya, dan bersungguh-sungguh belajar untuk masa depan, bukan hanya masa depan dirinya tapi untuk masa depan bangsa ini." Aku terdiam mendengar kata-kata Papa.
"Kamu anak satu-satunya Mama dan Papa, Nay. Kami hanya ingin kamu bahagia, walaupun itu membuat kami merelakan banyak hal," ujar Mama sembari tersenyum.
PONG..!
Suara kereta api memecah lamunanku, aku menghapus air mata yang keluar dari mataku. Berharap apa yang kuputuskan ini tepat.
"Nay lihat, kita sudah masuk desanya. Bentar lagi sampai, kalau lihat maps kita tinggal ikutin jalur rel kereta apinya," ujar Mama yang memang sedari tadi terus memperhatikan maps di layar ponselnya.
Benar, di samping kiri kami ada rel kereta yang lurus terlihat seperti tak ada ujungnya. Di seberang rel, rumah penduduk dengan bangunan yang sederhana namun terlihat asri dengan pekarangan yang luas. Di kanan jalan, kebun-kebun berjejer seakan menyambut setiap orang yang memasuki desa ini. Aku membuka kaca mobil, menghirup udara segar yang jarang kurasakan saat di kota. Embusan angin yang menerpa wajahku membuat hati ini tenang seketika, menghilangkan resah yang sejak tadi kurasakan.
"Gimana Nay, segar kan?" ujar Mama.
"Iya, Ma. Udaranya bersih."
"Lihat, kita sudah sampai," kata Papa. Ada plang 'Pondok Pesantren Al-Fath', tak ada gerbang, berbaur dengan pemukiman warga. Papa berusaha mencari tempat parkir, cukup sulit karena jalanan dipenuhi kendaraan serta orang-orang yang berjalan menuju arah yang sama. Makin lama hatiku kembali berdebar tak menentu.
Setelah beberapa lama, akhirnya mobil kami bisa terparkir. Menurut pemberitahuan, santri baru harus registrasi dulu, kemudian menuju lapangan utama untuk penyambutan santri baru. Aku pun menuju tempat registrasi yang tak jauh dati tempat parkir. Aku hanya diminta untuk menandatangani kehadiran di sebelah nama dan asal daerahku, di lembar kehadiran itu pula tertera nama kamar yang akan aku tempati.
"Hai! Kamu Naraya ya?" sapa seseorang tiba-tiba dari sampingku.
"Ya, kamu tahu?" tanyaku heran.
"Hehe, aku lihat saat kamu tanda tangan tadi" ujarnya dengan senyuman manis. "Kenalin, namaku Alya." Tangannya terulur, aku pun membalas salamannya.
"Salam kenal ya," kataku ramah.
"Aku duluan ya, sampai ketemu lagi." Dia melambaikan tangannya sembari pergi. Aku lega, tak seharusnya aku mengkhawatirkan hal-hal yang belum tentu akan terjadi, semuanya akan baik-baik saja.