Awal dan Akhir Kisah

Arunika Chayra
Chapter #4

Memulai

"Orang yang paling bahagia adalah yang paling kuat cintanya pada Rabbnya."

~Imam Al Ghazali~

_________________________

Krik..krik..krik...

Suara jangkrik menemaniku berjalan di jalan setapak ini. Hening hanya suara-suara malam yang terdengar, sesekali embusan angin malam membuat ranting-ranting pohon bergoyang. Di sebelah kiriku, pohon-pohon duku berjejer. Di sebelah kanan pula, jalan kecil menuju pugak-dataran tinggi seperti bukit kecil yang ditutupi semak belukar. Beberapa lilin menyala, sengaja ditempatkan oleh kakak panitia di beberapa titik sebagai penerangan dan juga sebagai petunjuk jalan. Walaupun ada penerangan dari cahaya lilin, siapa yang tak merinding, jalan sendirian tengah malam di tempat asing yang kanan kiri dikelilingi pepohonan.

Tak lama, aku tiba di tengah-tengah lapangan. Sunyi dan gelap. Hanya ada satu lilin di pinggir lapangan, tampak ada sosok di sebelah lilin. Dengan merapalkan doa aku perlahan mendekati sosok itu. Sampai di depannya dengan jarak setengah meter, aku mengenalinya. Dia salah satu panitia MOS, terlihat dari pakaian yang ia kenakan.

"Bacakan ayatnya," perintah kakak itu. Aku langsung membaca ayat al-Qur'an yang sebelumnya sudah ditugaskan oleh panitia untuk menghafalnya, surah Ar-Rum ayat 22-26.

Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang penciptaan Allah, Dia menciptakan bermacam bahasa dan warna kulit, waktu malam dan siang, memperlihatkan kilat sehingga menimbulkan ketakutan dan harapan, menurunkan tetesan air hujan dari langit untuk menghidupkan tanaman-tanaman yang kering, menghidupkan banyak makhluk di muka bumi. Dan aku merasakan hal itu selama aku jurit malam.

"Ikuti jalan ini, hati-hati ada balong di tikungan. Sampai di musholla, sholat malam di sana," arah kakak itu lagi. Aku mengangguk dan langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan tadi.

Jalan ini lebih kecil dari jalan yang tadi dan agak menurun. Sampai di tikungan, terdapat balong besar—kolam untuk membudidayakan ikan—dengan riak airnya yang tenang dan hampir tak terlihat kalau ada balong di sana, saking hampir tak adanya pencahayaan. Aku pun berjalan di pinggirannya yang sudah di beton. Kalau diperhatikan, di seberang sana banyak pohon berakar gantung, terlihat semakin menyeramkan apalagi dalam kondisi sepertiku ini. Aku menelan ludah, berusaha tak melirik ke arah sana.

Aku terus berjalan hingga balong tadi pun terlewati. Dan sekarang, di depanku berdiri musholla sederhana dengan halaman yang tak terlalu luas. Namun musholla ini memiliki serambi yang lumayan luas, bedug besar nan tua disimpan dengan baik di sana.

Dengan melangkahkan kaki kanan, aku masuk ke dalam. Tak ada seorang pun, tapi untungnya ada lampu gantung yang menyala cukup terang. Jam masjid menunjukkan pukul setengah satu. Aku terus berjalan ke samping musholla, mencari tempat wudhu. Berwudhu di waktu begini membuat tubuh lebih segar, walaupun harus menahan air yang dingin.

Menghadap Allah di kondisi seperti ini sangat tepat. Ketika hanya ada aku dan Dia. Akan lebih leluasa untuk mencurahkan segala keresahan hati. Ditambah lagi di dalam rumah-Nya serta di waktu yang mustajab.

Selesai sholat, aku pun keluar dari musholla, siap melanjutkan perjalanan. Tapi tunggu, di sekitar sini tak ada lilin. Lalu aku harus ke mana, ada pertigaan di depanku. Kalau ke kanan, aku akan kembali lagi. Jadi jalan lurus atau yang kiri?

"Nak, pergilah ke jalan yang lurus. Di sana jalan ke arah teman-temanmu," ujar seorang bapak tua dari sampingku, wajahnya cerah menenangkan meskipun sudah berkeriput. Aku memandang ke arah jalan di depanku, cukup gelap. Tapi lebih besar di bandingkan jalan yang kiri.

"Terima kasih, Pak..." ucapanku berhenti, sosok bapak itu tak ada lagi. Aku melihat sekeliling, benar-benar tak ada. Heran, mana mungkin bisa dalam sekejap tak ada. Aku menggeleng, mungkin saja lelaki tadi masuk ke dalam masjid. Aku berusaha berpikir positif, dan memilih melanjutkan perjalanan.

Jalan ini sudah diaspal, lebih baik dari jalan setapak tadi. Walaupun kanan kiri masih terdapat perkebunan, tak masalah, aku sudah tidak takut lagi. Malam ini, bulan tidak terlihat. Kata Papa, kalau saat malam tidak terlihat bulan, padahal bukan waktunya bulan mati, ada kemungkinan malam itu sedang mendung. Apakah akan hujan sekarang? Entahlah. Tak terasa, sudah terlihat rumah-rumah warga di sekitarku.

Sekarang di hadapanku ada pertigaan lagi, di seberang sana tampak rel kereta. Dan untungnya kali ini ada lilin yang terletak tak jauh di persimpangan jalan ke arah kanan. Aku tersenyum senang. Kalau rel kereta sudah kelihatan, aku hanya tinggal mengikuti jalannya dan tandanya tidak lama lagi akan sampai di pondok pesantren.

Dua sosok terlihat mendekat ke arahku, dan ternyata panitia MOS. "Eh, kamu dari musholla kan?" tanya salah satu dari mereka saat kami sudah berhadapan. Aku mengangguk.

"Lilin di sana padam ya?" tanyanya lagi. Aku pun mengangguk lagi, mulai merasa ada yang tidak beres.

"Ah, benar kata Ulfa. Aku seharusnya nggak menaruh lilin yang kecil di sana," ujar kakak yang satunya.

"Aduh, bisa gawat nih." Dua kakak tingkatku itu memandangku lamat-lamat. Aku makin bingung.

"Kamu kok bisa sampai sini? Tadi lilinnya sudah mati, kan."

"Iya, tadi aku nggak lihat lilin Kak. Terus ada bapak-bapak yang kasih tau jalannya," jelasku.

Lihat selengkapnya